Mohon tunggu...
Galih Nugroho
Galih Nugroho Mohon Tunggu... -

Mahasiswa jurusan Ilmu Politik. Sedang berusaha mencari sistem politik yang terbaik untuk Indonesia, agar tujuan utama dari negara ini dapat tercapai. (Ketua BEM FISIP UI 2011)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran IMF Dalam Penanganan Krisis Ekonomi di Indonesia 1997/1998

5 April 2011   16:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06 35766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis multidimensi yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan kejadian yang sangat nahas bagi negara-negara di kawasan tersebut. Nilai mata uang negara-negara di kawasan Asia ini turun dengan cepat dan drastis. Sebut saja Thailand (baht), Malaysia (ringgit), Singapura (dolar Singapura), Indonesia (rupiah), dan Korea Selatan (won). Indonesia merupakan negara yang terkena dampak paling parah, nilai rupiah yang biasanya ada di kisaran Rp 2.600,00 pada waktu itu bisa mencapai Rp 17.000,00. Bila dilihat dalam hitungan persen Korea Selatan mengalami penurunan -39,0% untuk (won), Thailand -37,5% untuk (baht), dan Indonesia -73,9% untuk (rupiah).[1] Penurunan nilai rupiah ini berakibat pada penggelembungan hutang luar negeri yang berdampak pada kebangkrutan perusahaan-perusahaan yang tidak sanggup membayar hutang dalam bentuk mata uang asing karena jumlahnya yang meningkat menjadi 4 – 7 kali lipat.[2] Jadi dapat dikatakan krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 berdampak sistemik.

Sebenarnya penurunan rupiah ini mempunyai dampak positif dan negatif.[3] Dampak positifnya paling dirasakan oleh para eksportir. Hal ini karena ketika nilai rupiah turun, barang dagangan mereka laku keras. Maksudnya dengan menurunnya nilai rupiah berarti barang-barang Indonesia menjadi murah di mata orang asing dan permintaan akan barabg-barang Indonesia menjadi meningkat di dunia. Meskipun mempunyai dampak positif, dampak negatifnya jauh lebih banyak. Pendapatan per kapita dalam hitungan dolar AS turun sekejap dari $ 1.115 menjadi $ 300 – 400 pada puncak krisis, dan utang luar negeri (pemerintah dan swasta) naik beberapa kali lipat. Pada akhir Desember 1997, utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai $ 137,42 milliar dan utang swasta $ 73,96 milliar.

Akibat dari krisis ini, Indonesia yang harus berusaha mengeluarkan diri dari krisis akhirnya bergantung pada bantuan IMF dan lembaga keuangan dunia lainnya untuk memulihkan keadaan ekonomi mereka. Namun, sebagai konsekuensi dari ketergantungan pada bantuan tersebut, pemerintah harus rela untuk melakukan syarat-syarat yang diberikan oleh IMF.[4] Perubahan-perubahan signifikan pun harus pemerintah lakukan misalnya dalam deregulasi peraturan yang berhubungan dengan pasar kemudian melakukan privatisasi terhadap sejumlah sektor-sektor ekonomi.

Lalu dari latar belakang di atas, apa yang dilakukan IMF selaku organisasi yang bertugas sebagai pengatur sistem keuangan dan sistem nulai tukar internasional dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis ini? Sebelum mengetahui langkah-langkah IMF? Apakah berdampak baik atau malah menambah beban Indonesia? Kita perlu mengetahui apa yang menyebabkan negara-negara di Asia pada tahun 1997-1998 mengalami krisis ekonomi melalui pendekatan teoritis, serta peran dan fungsi dari IMF itu sendiri!

Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang krisis ekonomi yaitu[5]: pendekatan Generasi Pertama, pendekatan Generasi Kedua, dan pendekatan Generasi Ketiga. Pendekatan Generasi Pertama dikembangkan oleh Krugman (1979) dan Flood & Garber (1984), yang mendasarkan analisis pada kondisi ketidakseimbangan fiskal yang cenderung tidak stabil, sehingga menjadi pemicu serangan terhadap mata uang. Pendekatan ini mengasumsikan Bank Sentral cenderung melakukan monetisasi defisit fiskal melalui pemberian kredit dalam negeri, sementara pada saat yang sama berupaya mempertahankan nilai tukat tetap. Dengan kondisi ini cadangan devisa yang terbatas, ekspetasi akan terjadinya devaluasi telah mendorong tindakan para spekulan untuk menyerang mata uang dan menguras cadangan devisa di Bank Sentral.

Pendekatan Generasi Kedua, dikembangkan oleh Diamond & Dybvig (1983) yang mendasarkan analisisnya pada kondisi trade-off yang dihadapi pemerintah, yakni antara mempertahankan nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) dan menetapkan kebijakan moneter ekspansif untuk mempertahankan nilai tukat tetap, para spekulan akan cenderung menyerang apabila ada indikasi kurangnya komitmen pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar tersebut. Dalam kasus ini, krisis dipicu oleh memburuknya kondisi fundamental perekonomian, seperti pertumbuhan yang multiple equlibirium. Negara yang mempunyai fundamental ekonomi lemah cenderung mengalami krisis, sebaliknya yang memiliki fundamental ekonomi kuat cenderung terhindar dari krisis, sedangkan yang berada di antaranya dapat mengalami self-fulfilling speculative expectation.

Pendekatan Generasi Ketiga, dikembangkan oleh Krugman (1998) dan Corsetti, dkk, (1998), yang memasukkan peran moral hazard induced investment dalam menganalisis faktor-faktor penyebab krisis. Moral hazard terjadi karena adanya persepsi bahwa pemerintah selalu siap menjamin atau menalangi perusahaan swasta yang menghadapi masalah. Oleh karena itu, terjadi excessive investment/lending dan excessive borrowing. Akibatnya, terjadi akumulasi utang sektor swasta dalam jumlah cukup besar. Dalam kondisi perekonomian yang buruk, pemerintah tidak bisa tergantung pada penerimaan pajak untuk membiayai krisis, dan cenderung menutupi defisit dari seignorage revenues. Hal ini akan membentuk expectations of future inflanationary yang pada gilirannya memicu serangan yang spekulatif terhadap mata uang.

Menurut Miranda S. Goeltom, seperti yang dikutip oleh Deliarnov[6], krisis yang terjadi di Indonesia dan negara-negara Asia Timur lainnya lebih bisa dijelaskan oleh teori pendekatan generasi ketiga yang dikembangkan oleh Krugman dan Corsetti, di samping memang ada unsur kesengajaan oleh pihak-pihak yang melakukan kejahatan di pasar modal, pada nilai tukar mata uang asing (valas), dan pada instrumen keuangan. Daya rusak yang dapat ditimbulkan oleh para spekulan sangatlah dahsyat. Dana yane mereka miliki daoat mencapai ratusan milliar Dolar AS dengan kemungkinan leverage atau dapat meminjam sepuluh kali lipat untuk dipertaruhkan di pasar uang yang bekerja 24 jam sehari. Spekulan yang paling ditakuti di dunia adalah George Soros dengan Quantum Fund-nya. Mereka inilah yang menyebabkan merosotnya poundsterling Inggris tahun 1992, peso Meksiko tahun 1995, baht Thailand, rupiah Indonesia, won Korea tahun 1997/1009, rubel Rusia tahun 1998, dan peso Argentina tahun 2002.

Sedangkan Bob Sugeng Hadiwinata di dalam bukunya mengutip dari pendapat para pakar ekonomi mengidentifikasi ada 3 hal yang menyebabkan krisis ekonomi, yakni[7]:

1. Fenomena Productivity Gap (Kesenjangan Produkitivitas).

Negara Asia mengalami kesenjangan produktivitas dikarenakan lemahnya pengalokasian aset-aset akibat mekanisme pasar yang tidak berfungsi dengan baik. Di dalam kompetisi internasional negara-negara Asia terlalu bertumpu pada “pengontrolan harga” produk dan mengabaikan pentingnya penguasaan teknologi untuk memobilisasi perpindahan ke sektor yang berteknologi tinggi. Kecenderungan negara-negara Asia untuk menganut prinsip economies of scale (skala ekonomi), yakni peningkatan produksi dan daya ekspor untuk menguasai pasar dunia, telah membawa mereka ke suatu “jebakan”, yakni tingkat kompetisi sesama negara Asia yang super ketat sehingga mendorong terjadinya perang harga. Akibat lain dari praktek economies of scale ini adalah jenuhnya permintaan pasar intenasional yang menyebabkan penurunan ekspor pada hambatan setiap negara Asia.


2. Fenomena Disequilibrium Trap (Jebakan Ketidakseimbangan)

Francois Godement mengaitkan Krisis Asia 1997 dengan fenomena “Jebakan Ketidakseimbangan”, yakni situasi dimana negara-negara terjebak ke dalam ketidakseimbangan antara pertumbuhan kuantitatif dengan perkembangan kualitatif proses produksi. Menurutnya, ketidakseimbangan dalam proses produksi mengakibatkan kecenderungan pemborosan dana untuk membiayai pola hidup yang konsumtif sehingga pengadaan modal dalam negeri menjadi sangat terbatas . Pada dekade 1990-an, negara-negara Asia (kecuali Jepang) masih belum mampu membangun struktur pemerintahan yang kondusif bagi mekanisme pasar dan gagal menanamkan perilaku rasional di kalangan warganya. Di samping itu, ketika terjadi lonjakan harga real estate dan inflasi di pelbagai sektor, pemerintah juga tidak mampu untuk meredam permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Negara-negara Asia mengalami tekanan defisit dari dua sisi: dari sisi neraca pembayaran dan national saving (tabungan nasional, yakni jumlah tabungan lebih kecil daripada jumlah yang dibutuhkan untuk investasi). Praktek “politik uang” dengan menggunakan uang rakyat untuk keperluan pembelian dukungan politik inilah yang makin memperburuk kondisi infrastruktur ekonomi beberapa negara Asia. Dalam hal ini, negara menghadapi tekanan defisit dari sisi anggaran belanja (pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan).


3. Fenomena Loan Addiction (Ketergantungan Kepada Hutang Luar Negeri)

Faktor lain yang ikut mendorong terjadinya Krisis Asia 1997 adalah kecenderungan para pelaku bisnis di beberapa negara Asia untuk meminjam dalam bentuk valuta asing kepada lembaga-lembaga keuangan asing. Dalam keadaan nilai tukar mata uang lokal yang sangat fluktuatif, peminjaman besar-besaran dalam bentuk valuta asing oleh para ekonom disebut sebagai suatu tindakan yang “surealis” (sangat tidak masuk akal). Risiko dari sikap loan addiction dalam bentuk valuta asing ini bagi perekonomian nasional cukup tinggi. Pertama, kecenderungan loan addiction akan memunculkan fenomena non-performing loan (yakni, pinjaman yang tidak digunakan untuk kegiatan produktif). Kedua, ketika mata uang lokal mengalami krisis nilai tukar, maka beban hutang valuta asing perusahaan menjadi membengkak. Dalam keadaan seperti ini perusahaan menghadapi dua pukulan: (1) kecenderungan terjadinya non-performing loan akibat penurunan skala aktivitas perusahaan, dan (2) lonjakan beban hutang akibat perbedaan nilai tukar mata uang.

Setelah kita sudah mengetahui penyebab-penyebab krisisnya, selanjutnya kita harus mengetahui juga apa fungsi dan tugas utama dari IMF, sebagai organisasi internasional yang pada waktu krisis 1997/1998 “berusaha” untuk membantu Indonesia keluar dari keadaan kelam tersebut.

IMF (International Monetary Fund) terbentuk secara resmi sejak tahun 1944, namun pertamuan pertama baru dilakukan pada tanggal 27 Desember 1945. Dalam pertemuan pertama baru 29 negara yang menghadirinya, dan baru setelah itu jumlah anggotanya bertambah hingga pada tahun 200 mencapai 182 negara[8]. Peran yang dilakukan oleh IMF dalam kancah perekonomian dunia dalam menangani negara-negara yang mengalami krisis adalah dengan cara membantu memulihkan dan memperkuat sistem keuangan negara-negara tersebut secepat mungkin.[9] Tujuan utama IMF dalam hal ini adalah untuk memperbaiki keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam Statuta IMF, bahwa:[10] “IMF dibentuk untuk mempromosikan kerja sama moneter internasional; untuk memfasilitasi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional; mempromosikan stabilitas nilai tukar mata uang; memfasilitasi pembentukan sistem pembayaran multilateral; menyediakan dana taktis untuk disalurkan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran dengan syarat-syarat tertentu; dan untuk mengurangi kecenderungan disequilibrium neraca pembayaran negara-negara anggotanya. ”

Terlihat bahwa IMF merupakan sebuah organisasi multilateral yang sengaja dibentuk untuk menjaga stabilitas moneter dan perdagangan dunia melalui penyediaan paket-paket bantuan lunak kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran pada tingkat yang dapat membahayakan perekonomian regional dan global. IMF memusatkan diri pada tiga macam kegiatan, yaitu[11]:

1. Surveillance (monitoring): suatu proses dimana IMF melakukan penilaian secara reguler terhadap kinerja dan kerangka kebijakan nilai tukar mata uang masing-masing anggotanya yang hasilnya diterbitkan dua kali setahun di dalam World Economic Outlook.


2. Financial Assistance (bantuan keuangan): pemberian kredit lunak (bunga sangat rendah dan jangka waktu pengembalian sangat panjang) kepada negara-negara yang mengalami krisis keuangan dengan syarat-syarat tertentu.


3. Technical Assistance (bantuan teknis): penyediaan tenaga ahli dan pelbagai dukungan lainnya bagi negara-negara yang melakukan pembenahan kebijakan moneter dan fiskal, pengumpulan data statistik, pengembangan lembaga keuangan, penyempurnaan auditing neraca pembayaran, dan lain-lain.

Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut:[12] (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10 elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dan ketiga syarat tersebut harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama programnya adalah Structural Adjustment Program (SAP)

Namun apa yang resep yang sebutkan di atas menurut Joseph Stiglitz, hanya akan berhasil atas sejumlah persyaratan. Kalau tidak hanya akan menambah beban negara. Contohnya, liberalisasi pasar hanya akan memarginalklan kelompok-kelompok petani di negara miskin yang tidak mampu bersaing secara sehat dengan negara-negara maju. Stiglitz menambahkan bahwa IMF tidak merencanakan program bantuannya dengan tidak lebih dulu meneliti secara spesifik negara yang akan dibantu. Hal ini diperkuat oleh Jeffrey Sachs yang mengatakan kalau IMF tidak meramu strategi yang pas untuk masing-masing negara karena memukul rata model krisis dari negara-negara tersebut.[13] Mantan PM Malaysia Anwar Ibrahim menambahkan kalau IMF hanya memberi khutbah dan menekan negara yang menerima bantuannya.[14]

Ketika Indonesia ditimpa krisis, IMF menyarankan untuk menaikkan tingkat suku bunga hingga 70% yang katanya untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Resep IMF untuk menaikkan suku bunga tinggi ini memang berhasil meredam inflasi, tetapi untuk tidak daoat menyehatkan secara keseluruhan, malah kebijakan ini membuat sektor riil semakin tertekan.[15] Pada saat Indonesia ingin mengambil inisiatif dengan CBS (Currency Board System) atau kebijakan kurs tetap, secara politik IMF menghalang-halanginya dengan menganncam akan memblokir bantuan dan mengajak seluruh anggota IMF untuk memboikot Indonesia jika menerapkan sistem tersebut.[16] Mengapa IMF menyarankan Indonesia untuk memberlakukan SBI yang tinggi hingga 70% per tahun? Padahal Amerika juga sedang terkena krisis setelah WTC dihancurkan oleh teroris, tetapi Amerika tidak menaikan suku bunganya.

Dari sisi ekonomi politik, resep yang paling berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan politik adalah pengetatan fiskal dan pengurangan anggaran. Pada saat krisis, dimana daya beli masyarakat turun drastis, IMF malah menganjurkan pengurangan subsisdi BBM dan TDL. Dalam sudut pandang ekonomi murni hal ini dapat dibenarkan, tetapi tidak dalam sudut pandang ekonomi politik. Hal ini karena waktu pengimplementasiannya kurang tepat, mana mungkin masyarakat yang daya belinya sedang turun dan seharusnya di bantu oleh subsidi dari pemerintah malah dicabut. Penarikan subsidi terbukti membuat kerusuhan dan masyarakat marah sehingga pada pertengahan 1998 terjadi kerusuhan besar di Indonesia terutama Jakarta.

Selain deregulasi dan liberalisasi, IMF juga menyarankan Indonesia agar melakukan privatisasi. Tetapi privatisasi yang diterapkan di Indonesia atas dorongan IMF malah membuat perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikuasai oleh orang-orang asing karena daya belinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Indonesia. Hal ini semakin membuat Indonesia dicabik-cabik oleh IMF.

Kegagalan IMF dalam membantu negara-negara yang terkena krisis sebenarnya sudah dapat dianalisis oleh Paul Krugman sejak tahun 1994. Krugman sudah memperingatkan bahwa ada dua keterbatasan IMF untuk dimintai pertolongan, yaitu keterbatasan modal dana dan keterbatasan modal politik. Keterbatasan dana terbukti pada tahun 1998, di mana untuk membanyu Brazil, Argentina, dan Rusia, IMF hanya mampu membantu antara $350 hingga $400 tiao 3-4 bulan.[17] Selama kontrak 5 tahun untuk membanytu krisis Indonesia, IMF hanya membantu sekitar $5 miliar, sangat jauh dari kebutuhan.[18] Sedangkan keterbatasan politik juga dapat dilihat dari tingkah IMF untuk menekan Indonesia. LOI (letters of Intent) merupakan salah satu produk politik IMF dalam menekan Indonesia.[19] Hal ini karena IMF jauh lebih mengutamakan kepentingan negara kreditor, daripada “kesehatan” negara-negara yang sedang diobati/mengalami krisis.[20]

Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah akibat dari ketidakmatangan IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk Indonesia. Mereka hanya mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk kepentingan perekonomian internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak akan mungkin dapat merubah sistem perekonomia suatu negara menjadi negara berbasis pasar dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada transparasi dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF menmbuat para pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri yang mengakibatkan hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah Indonesia juga tidak serius dalam penanganan krisis ini karena tidak menjalankan agenda-agenda perubahan yang sudah disepakati oleh RI. Jadi selain karena IMF, krisis multidimensi berkepanjangan juga disebabkan oleh orang-orang dalam di Indonesia.

[1] Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 183.

[2] Ibid

[3] Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 178.

[4] Harinowo, Cyrillus, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. hal 93.

[5] Op. cit., hal. 178-179.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun