Suatu saat ketika saya menghadapi tes wawancara, saya dihadapkan pada 2 hal yang berbeda dan dapat merubah pandangan saya secara drastis. Kebetulan saya mendaftar di dua instansi pendidikan Islam swasta. Mengapa harus Islam? tujuan saya adalah agar aspek ruhiyah lebih saya tingkatkan dari sebelumnya. Saya sadar diri bahwa kelemahan saya adalah masalah Iman. Sering goyang dan terombang-ambing. Tes tertulis dan praktek sudah saya lalui dengan baik. Syukur Alhamdulilah, kedua-duanya lolos wawancara,meski berselang 10 hari. Saya pun melaksanakan tes wawancara di instansi A, hasilnya sungguh menegangkan karena pertanyaan-pertanyan yang menjebak dan dilakukan dengan cepat. hampir tidak ada kesempatan untuk menghela nafas. Saya agak kecewa dengan hasil wawancara di instansi A, terlepas dari jawaban saya yang kurang akurat, si pengetes terlalu angkuh. Sedikitpun tidak tersenyum padaku dan wajahnya amat dingin. Begitukah seharusnya syarat pengetes wawancara itu? Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya saya mendesah dengan nada dalam. Tak kusangka, mencari pekerjaan amat sulit. Beda dengan orang-orang yang mendapatkan pekerjaan melalui link yang sudah ada, misalnya kerabat dari ketua yayasan atau bawaan dari teman kepala sekolah yang kita lamar.
Beberapa hari kemudian, saya berangkat tes wawancara di Instansi B. Saya agak gemetar karena pengalaman sebelumnya, sangat menegangkan. Namun, ternyata keadaan berbalik 180 derajad. Saat beberapa menit menunggu Ibu ketua yayasan, saya melirik sana-sini tanda grogi. Kemudian muncul dua perempuan seumuran kakak saya dengan senyumnya menyapa saya. Detik pertama, sungguh membantu....senyum kedua senior yayasan itu menghembuskan angin segar. Selanjutnya wawancara berjalan lancar, lebih tepatnya ngobrol. Saya dibebaskan untuk bercerita tentang keluarga, tentang motivasi dan tentang masa depan. Selebihnya diselingi gojekan yang dapat melumerkan suasana. Yang tidak pernah saya lupa adalah ketika saya ditanya tentang bacaan Qur'an saya sampai mana? saya langsung "Makjleb" (bahasa jawa untuk terpana karena tepat sasaran). Pertemuan sebelumnya memang saya pernah ditanya sehari dapat berapa ayat? Dan saya jujur....saya baca Qur'an kalau sempat saja bu. Beliau hanya tersenyum. Saya heran, lisan yang dia ucapkan tidak bersifat menggurui. Selalu diawali dengan senyum dan mengutarakan maksudnya dengan lemah lembut. Dia menanggapi dengan mengatakan bahwa kita ingin membangun anak yang cerdas dan berakhlaq islami. Jadi kalau siswa dituntut untuk hafal Qur'an berarti gurunya pun harus dituntut Hafal dan belajar Qur'an. Ya disempatkanlah baca Qur'an , ditambahi berapa ayat setiap hari. Jadi pasti Ibu bisa 'one day one juz'.....senyumnyapun masih mengembang. Saya mengangguk-angguk dan merasa tertampar keras. Kemana saya selama ini?
Sepulangnya saya masih ngalamun. Memikirkan perkataan Ibu ketua yayasan tadi. Kemana dan apa saja yang saya kerjakan selama ini? Kalau hanya menuntaskan kewajiban ibadah, setelah gugur kewajiban ... sudah tak ada yang kita dapatkan. Namun jika kita beribadah dengan niat karena mendekatkan diri pada Allah dan mendapatkan ridha Allah dalam hidup, tentu tidak seperti yang saya dapatkan selama ini.
Demikianlah, setelah mendapat teguran secara tidak langsung oleh orang yang baru saya kenal, saya lebih rajin beribadah. Shalat fardhu, sunah, mengaji di tengah malam....yaa untuk bersyukur kepada Allah, saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Sesungguhnya, lisan dapat membawa hikmah namun juga dapat menjadi sumber petaka bagi diri sendiri maupun orang lain. berapa banyak orang yang berubah menjadi lebih baik dikarenakan tutur kata seseorang yang mengandung hikmah dan tausiyah, akan tetapi tidak jarang pula akan terjadi pertengkaran gara-gara perkataan lisan yang tidak terpelihara. Oleh karenanya menjaga dan memelihara lisan merupakan sebuah keharusan bagi umat Islam, sehingga setiap kata yang terlontar dari lisannya selalu membawa hikmah dan faedah, ketika lisan itu tidak dikendalikan, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya fitnah.
Dari peristiwa tersebut dapat kita simpulkan bahwa lisan seseorang dapat mengantarkan kita ke surga ataukah ke neraka. Seperti dalam firman Allah SWT :
وَقُللِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُبَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا.
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku :"hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al-Israa` (17 : 53)
Dalam benak saya, perubahan saya begitu drastis dan bahkan ketika saya menanggalkan salah satu ibadah yang biasa saya lakukan, saya menyesal tak terkira. Terlambatkah saya ya Allah? Terimalah taubat saya ya Allah .... saya pun ingin menauladani sosok Rasul yang selalu terjaga lisannya dan bermanfaat bagi orang lain. Tentunya beliau yang secara tidak langsung menyadarkan saya, dengan perantara Tes Wawancara hari itu mempertemukan kami....
Yang paling penting yang dituntut oleh Allah SWT dalam penggunaan lisan ini, hendaknya kita menggunakannya untuk menyeru manusia kepada yang baik, menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Atau menggunakannya dalam rangka mengishlahkan dua pihak yang bertikai dan saling berwasiat dengan kebaikan dan ketakwaan. Hal ini dapat dilihat dari firmanAllah SWT:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.