Mohon tunggu...
Galih Ludiroaji Anggraito
Galih Ludiroaji Anggraito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permen LHK No 17 Tahun 2020: Multikulturalisme Bersyarat untuk Masyarakat Adat

29 Juni 2021   00:15 Diperbarui: 29 Juni 2021   00:20 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran Permen LHK No 17 Tahun 2020 dinilai berpotensi untuk menjamin kepastian hukum dan rekognisi masyarakat adat, terlebih lagi setelah kemunculan Omnibus Law (Chandra, 2020). Namun, jika merujuk pada catatan akhir tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terlihat bahwa mekanisme pengakuan masyarakat adat atas wilayahnya untuk diakui membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Argumen tersebut tercermin jelas dalam Permen LHK No 17/2020, dengan urutan tahapannya sebagai berikut;

1) Komunitas masyarakat adat;
2) Perda pengakuan masyarakat adat;
3) Surat keputusan kepala daerah tentang penetapan masyarakat adat;
4) Usulan hutan adat ke menteri LHK;
5) Pengakuan hak masyarakat adat atas wilayahnya (AMAN, 2020). Jika menilik kasus pada masyarakat adat adat atas wilayahnya (AMAN, 2020).

Disini terlihat bahwa peran Perda dan SK kepala daerah menjadi penting untuk mendukung dan/atau mengukuhkan peraturan diatasnya−dalam hal ini Permen LHK−yang berfungsi sebagai rekognisi keberadaan dan akses masyarakat adat atas pengelolaan wilayahnya serta melindungi mereka dari kriminalisasi, sengketa, serta ancaman penguasaan wilayah adat dari pihak luar. Kebijakan ini juga mampu memberikan pemahaman yang jelas kepada Pemerintah Daerah tentang makna masyarakat adat sehingga terdapat mekanisme pengakuan dan akses pengelolaan wilayah adat. Harapannya, kehadiran Permen LHK mampu menjamin perlindungan dan kebebasan ruang hidup masyarakat adat sekaligus memampukan kegiatan perekonomian mereka bergerak.

Dapatlah dipahami bahwa Permen LHK hadir sebagai potensi kepastian hukum untuk masyarakat adat tetapi dengan berbagai catatan kritis yang menilai bahwa solusi masih ditempatkan pada tahapan prosedural dan bukan sebagai pengakuan yang penuh. Oleh sebab itu, mari melihat lebih dalam tentang proses lahirnya Permen LHK No 17 Tahun 2020. Hal ini penting untuk memahami bahwa perjuangan untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat merupakan sebuah proses yang panjang terlebih lagi jika dilihat sebagai pendekatan negara dalam memandang dan mewujudkan multikulturalisme di Indonesia.

a) Perjuangan Hak atas Masyarakat Adat: Sebuah Proses Panjang

Kemunculan Permen LHK No. 17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak telah melalui rangkaian perjalanan yang panjang bagi perjuangan hak atas masyarakat hukum adat. Dasar konstitusional pengaturan masyarakat hukum adat yang telah menjadi mandat bagi Pemerintah untuk membuat regulasi sebagaimana Putusan MK No.35/PUU-X/2012 mengacu pada tiga hal penting yaitu tata pemerintahan, hak asasi manusia (HAM), kebudayaan. 

Acuan itu muncul sebagai penerjemahan atas UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) dan (2). Sejarah pengaturan masyarakat hukum adat sering kali beririsan dengan aturan lainnya. Belum ada regulasi yang spesifik untuk mengatur masyarakat hukum adat. 

Terbukti, pertama kali istilah masyarakat hukum adat secara resmi berlaku di Undang-Undang muncul pada UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam substansinya disebutkan bahwa masyarakat adat adalah bagian dari Pemerintah Republik yang berkedudukan sebagai daerah otonom di tingkat ketiga bersama dengan desa. 

Selanjutnya dilengkapi dengan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk peralihan mencapai terwujudnya daerah tingkat III yang mana telah memuat pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam agenda revolusi (Warman, 2014).

Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat semakin kuat dengan adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria (UU PA) yang menyebut penguasaan hak pengelolaan sumber daya alam dari negara dapat didelegasikan kepada mereka sebagai bentuk komitmen penyejahteraan dan kemakmuran rakyat seluas-luasnya. 

Berbanding terbalik kala orde baru berkuasa, masyarakat hukum adat terpinggirkan dengan dalih ‘kepentingan nasional’ seperti dalam UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan Pasal 3 ayat (3). Kemudian pasca Orde Baru, menurut Warman (2014) pada rentang 1999 sampai tahun 2014 terdapat enam belas (16) UU yang mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun