Mohon tunggu...
Galih Restu Pratama
Galih Restu Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa di IPB University

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Matinya Demokrasi Kampus dalam Keheningan Mahasiswa

3 Desember 2024   13:59 Diperbarui: 3 Desember 2024   14:12 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit Uraian Singkat Mengenai Pemilihan Raya (PEMIRA) Presiden Mahasiswa (PRESMA) IPB 2024/2025.

Tahun ini mungkin menjadi waktu yang sangat menggembirakan bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Setelah berhasil menggelar Pemilu dan Pilkada secara serentak, saat ini atmosfer politik terasa begitu hangat dengan perdebatan, keterlibatan masyarakat dan optismisme untuk masa depan. Namun, euforia ini tidak menjalar pada tingkat yang lebih kecil; lingkungan kampus. 

Di tengah meningkatnya partisipasi masyarakat, politik kampus menunjukan degradasi yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat secara langsung dari pagelaran Pemilihan Raya (PEMIRA) Presiden Mahasiswa (Presma) di Institut Pertanian Bogor. Dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) PEMIRA sebanyak 29.203 mahasiswa sarjana, suara yang masuk dan terhitung hanya 2.145 (hanya 7% dari total DPT). 

Angka sekecil itu tidak hanya sekadar statistik, jauh dari pada itu merupakan sebuah alarm peringatan bahwa politik di dalam kampus sedang mengalami pergolakan yang hebat, serta terjadinya krisis demokrasi. PEMIRA seharusnya menjadi ajang bagi segenap mahasiswa untuk belajar serta mengimplementasikan mengenai arti pentingnya demokrasi.

 Pagelaran ini adalah ajang untuk memilih dan menentukan pemimpin yang mampu mempresentasikan bagian dalam diri dan kelompoknya, serta pemimpin yang mampu memenuhi dan menyediakan apa yang diri dan kelompoknya butuhkan. Namun, kenyataan dan realitas yang terjadi jauh dari yang diharapkan. Sebanyak 93% mahasiswa IPB memilih untuk tidak mengambil bagian dalam agenda tahunan ini. 

Pertanyaan liar kemudian muncul seiring dengan terjadinya fenomena ini. Apakah hal ini terjadi semena-mena karena mahasiswa yang apatis? atau telah terjadi kebobokran serta kerusakan dalam sistem politik kampus, yang telah menjelma menjadi panggung elitis yang sudah tidak lagi relevan?

Angka pemilih sebesar 7% juga mengindikasikan bahwa ini merupakan sebuah kritik terselubung yang dilakukan oleh mahasiswa. Alasan mahasiswa memilih untuk diam dan tidak berperan adalah karena sebagian besar dari mereka tidak merasakan adanya urgensi yang mendorong mahasiswa harus ikut berperan. 

Selan itu, sebagian besar mahasiswa juga memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa suara mereka tidak akan membawa dan membuat suatu angin perubahan. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa sistem yang ada saat ini telah terjabak pada pola tahunan, yang tidak akan membawa perubahan nyata. 

Jika selama ini BEM KM telah mewakili mahasiswa, mengapa hanya 7% suara yang masuk? kesenjangan seperti ini tentu akan menimbulkan pertanyaan besar, apakah BEM KM telah berubah menjadi oligarki kampus, atau telah menjadi sebuah klub eksklusif dengan agenda elitis? 

Kegagalan untuk menjangkau mayoritas mahasiswa adalah kegagalan esensial yang tidak bisa dibiarkan. Satu hal yang kerap dilupakan, DEMOKRASI KAMPUS TANPA PARTISIPASI HANYALAH OMONG KOSONG BELAKA!

Hal yang terjadi di PEMIRA tahun ini mungkin merupakan sebuah domino effect dari peforma BEM KM tahun-tahun sebelumnya. Dalam banyak kasus, BEM KM lebih fokus pada hal-hal kegiatan dan agenda pencitraan dibanding pelayanan dan pemberdayaan. 

Narasi yang mereka angkat mengenai perjuangan penyelesaian isu nasional/internasional sering kali tidak dapat menyentuh dan menggapai realitas sebenarnya kehidupan mahasiswa IPB. 

Padahal, mahasiswa  tidak membutuhkan hal-hal narsistik seperti itu dari BEM KM. Mereka hanya butuh sosok pemimpin dan sebuah wadah resmi yang mampu mengayomi serta memperjuangkan asa dan harap mereka, dalam memperjuangkan penurunan UKT, peningkatan fasilitas kampus, serta penyediaan media pengembangan bagi karir mereka. 

Sebagai penutup, saya akan mengingatkan bahwa segala hiruk-pikuk demokrasi dan politik kampus yang terjadi saat ini, merupakan sebuah cerminan nyata dari sebuah implementasi politik yang akan terjadi pada masa depan. 

Jika sistem politik kampus dibiarkan terus berada dalam kehancuran dan keboborkan, maka bangsa yang besar ini akan kehilangan salah satu wadah terpenting untuk melatih, membina, mendidik, dan membentuk pemimpin masa depan. 

Mau sampai kapan BEM KM IPB akan terus tenggelam dalam relevansi yang kian memudar? Kejadian ini bukan hanya sekadar tanggung jawab mahasiswa, lebih dari itu sistem politik kampus memiliki peranan yang jauh lebih signifikan atas hal yang saat ini terjadi.

Terima kasih, semoga menjadi pengingat dan pelecut perubahan.

Dengan segala hormat,


Galih Restu Pratama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun