Kedua, peresapan ke dalam tanah. Air bergerak ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan batuan hingga sebagian ke air permukaan.Â
Ketiga, Air Permukaan. Air bergerak menuju sungai-sungai utama dan bermuara ke laut.
Siklus air yang tidak berjalan semestinya sejatinya menjadi penyebab utama
banjir. Air hujan yang harusnya mengalami proses peresapan (infiltrasi) ke dalam pori-pori tanah.
Fakta di lapangan menunjukkan air hujan kehilangan daerah resapan. Daerah resapan di Jakarta kian berkurang akibat modernisasi yang melahirkan plesterisasi, pavingisasi, rukonisasi, hingga aspalisasi.
Imbasnya air hujan akan mencari tempat yang lebih landai, kemudian membentuk kubangan air dan ujungnya banjir tak terelakkan.
Proses peresapan air hujan ke tanah
(infiltrasi) semaksimal mungkin merupakan kunci sukses dalam program normalisasi siklus hidrologi. Penyerapan air ke dalam tanah hampir dapat dipastikan akan mengurangi volume air permukaan. Revitalisasi sungai diharapkan dapat menampung air dari daerah hulu, meskipun curah hujan lagi tinggi. Dan
akhirnya banjir pun terhindarkan.
Normalisasi siklus hidrologi pada tataran praktik memang dirasa agak berat.
Pasalnya berhubungan dengan penyadaran pola pikir manusia. Untuk itu dibutuhkan
simbiosis mutualisme antara pemerintah, CSR, dan warga. Jika saling mendukung,
maka tidak ada yang mustahil dalam membangun ibukota bebas banjir.
Wujud normalisasi siklus hidrologi itu beraneka ragam bentuknya. Dari selektif
dalam memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) di daerah perkotaan maupun puncak, meningkatkan luasan ruang terbuka hijau, mempertahankan kawasan hijau di daerah atas, mempopulerkan biopori, hingga menghentikan pembalakan hutan. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H