Mahasiswa Tadris IPA B STAIN Kudus kemarin pagi mengunjungi situs purbakala Patiayam di Desa Terban Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Dalam rangka field trip untuk mengkaji fosil sebagai salah satu petunjuk teori evolusi. Kebetulan matakuliahnya Biologi Dasar mengupas prinsip-prinsip Genetika dan Evolusi. Bersama rekan dosen yang lain kami mendampingi mahasiswa selama observasi dan wawancara dengan pihak pengelola situs Patiayam.
Saya menangkap antusiasme yang tinggi tatkala mahasiswa mengunjungi satu-satunya cagar budaya kebendaan (fosil) di Pantura ini. Patiayam identik gajah purba. Jaraknya hanya 8 km atau 16 menit dari kampus.Â
Bermodal angkutan umum cat hijau, mereka rela berdesak-desakan untuk bisa tiba di Desa Terban. Sengaja saya larang keras untuk membawa motor sendiri. Riskan dan berisiko. Dua kata itu setidaknya mewakili kondisi jalan Pantura detik ini. Untungnya mereka tunduk atas titah saya. Hanya kata "luar biasa" yang pas disematkan buat mereka.
Di dalam museum mahasiswa sudah ditunggu dan bahkan disambut para pengelola museum dengan senyum yang lebar. Terhitung ada lima pengelola yang mendampingi kami selama kegiatan observasi tadi pagi. Sekalipun mereka masih tenaga outshourcing namun semangat menularkan ilmu fosil pada mahasiswa kami begitu berapi-api.Â
Melihat semangat mereka menjaga cagar budaya milik negara sudah sepantasnya pemerintah pusat atau daerah memperhatikan nasib mereka agar jauh lebih baik. Karena orang-orang ini telah berjuang keras agar UU No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya dapat diimplementasikan sepenuhnya di lapangan.
Situs Patiayam dipimpin oleh putra daerah asli Terban. Dia saya panggil Pak Jamin. Bapak paruh baya ini sesungguhnya pegawai Sangiran yang ditugaskan mengelola situs Patiayam. Semangatnya dalam bercerita Patiayam seakan tak pernah habis. Dia urai semua dari cikal bakal, mitos masyarakat, stratigrafi, potensi arkeologi, paleoanthropologi, fosil fauna, pendirian museum, harapan-harapan, sampai konflik menegangkan dengan warga Tanjungrejo ihwal permintaan uang tebus sebab menemukan fosil gading gajah.
Bicara Situs Patiayam bersama Pak Jamin begitu gayeng. Dia bangga dengan situs Patiayam dimana fosilnya sangat beragam. Berbeda di daerah Sangiran lebih homogen karena fosil di Sangiran lebih banyak ditemukan di dekat aliran Sungai Bengawan solo. Manusia purba Sangiran yang ditemukan cenderung bertahan hidup di tepian sepanjang sungai.
Patiayam zaman old dalam pandangan Pak Jamin adalah laut yang sekarang berubah jadi daratan. Sekitar 400.000 tahun silam, Pulau Jawa dan Pulau Muria terpisah akibat terjadi masa inter glasial/penghangatan suhu bumi sehingga terjadi pencairan. Imbasnya gunung Muria terisolir dari Pulau Jawa yang dipisahkan laut dangkal. Pada abad 17 dua pulau ini menyatu permanen akibat  karena pendangkalan dan perkembangan daratan alluvial sepanjang sungai di Pantura.
"Perubahan laut ke darat menjadikan koleksi situs Patiayam lebih beragam" seru Pak Jamin. Ada binatang darat dan laut. Binatang darat yang ditemukan meliputi gajah purba (Stegodon), harimau (Felidae), kerbau (Bovidae), badak (Rhinocirotidae), rusa (Cervidae), babi (Suidae), dan kuda sungai (Hippopotamidae). Temuan sementara binatang laut antara lain Moluska, Cheloniidae, Crocodylidae, Foraminivera, dan Lamidae.