Mohon tunggu...
Muhamad Jalil
Muhamad Jalil Mohon Tunggu... Dosen - Orang pinggiran

Write what you do

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai-nilai di Balik Budaya Takziah

13 April 2019   16:25 Diperbarui: 13 April 2019   16:38 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir sebulan lamanya saya tidak aktif di Kompasiana. Lantaran pada akhir-akhir ini disibukkan dengan kuliah serta tugas2 kuliah menumpuk.  Hari ini saya paksakan diri untuk menulis di Kompasiana dengan tema seputar budaya takziah di masyarakat kita. 

Pagi ini saya diajak istri takziah ke Gadingan Kulonprogo.  Ibu teman istri ketika masih kerja di Batam meninggal karena sakit jantung.  Dengan sepeda motor kami susuri jalan Wates-Purworejo.  Dari yogya ke tempat rumah duka menempuh waktu 1 jam 15 menit.  Rumah duka tak jauh dari Pasar Wates.  

Sesampai tempat duka, parkir motor cukup ramai.  Hilir mudik para pelayat bergantian keluar masuk dari rumah duka.  Terlihat  beberapa ibu dan bapak mendoakan di hadapan keranda jenazah dengan membacakan yasin,  tahlil,  atau doa-doa khusus.  Disamping pelayat lain saling mengobrol dengan pelayat lain sambil menikmati suguhan alakadarnya.  Obrolan itu ya tidak jauh dari riwayat hidup dari sang jenazah.

Perlu diketahui sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang baik semasa hidup almarhum.  Hindari obrolan yang menjelek-jelekan almarhum walaupun memang  begitu adanya.  Hal ini berguna untuk menjaga perasaan keluarga duka yang ditinggalkan.  Kalau pihak keluarga tahu atau mendengar obrolan kita justru akan semakin melukai perasaan keluarga duka.  Maka dalam sebuah hadits,  Nabi Muhammad bersabda "Berkatalah yang baik atau kalau tidak bisa lebih baik diam. " 

Justru dengan takziah kita harus membahagiakan mereka dengan semampu cara yang kita miliki.  Misalnya dengan kita membantu keluarga duka yang ditinggalkan. Di Kulonprogo yang saya kunjungi tadi disediakan kotak amal bagi para pelayat yang ingin menyisihkan sebagian rizkinya untuk keluarga korban.  Besarannya juga tidak ditentukan.  Semampu dan seikhlas para pelayat yang tergerak hatinya untuk berderma. 

Berbeda dengan di Kudus dan Grobogan,  sedekah kepada keluarga tidak harus dalam bentuk uang,  tetapi bisa dalam bentuk lain seperti beras,  mie,  minyak,  dan jenis sembako lain. Sembako itu akan dipakai mencukupi kebutuhan keluarga duka selama kegiatan tujuh hari/pidak/ikhlasan/atau sebutan lainnya.

Dengan adanya bantuannya dari warga atau pelayat dapat memperingan beban keluarga duka yang ditinggalkan. Berarti dalam budaya takziah terdapat nilai tolong-menolong,  kepedulian,  sosial,  ingat mati,  dan tentu dapat menguatkan keimanan kita kepada Tuhan YME. 

Budaya takziah atau tilik orang meninggal menurut hemat saya adalah budaya yang mengajarkan agar kita selalu mengingat mati. Hampir setiap hari kita mendengar berita lelayu dari pengeras masjid.  Nah kalau kita punya waktu sebaiknya memang dianjurkan untuk menghadiri prosesi pemakaman tersebut dari memandikan, mengkafani, menyolatkan,  hingga menguburkan. Jika kita ringan membantu, pasti kita akan dibantu saat kita meninggal. Pahami bahwa kematian adalah suatu yang pasti datangnya.  Maka kita sebaiknya selalu memperbaiki diri kita selagi masih hidup di dunia. 

Dunia adalah ladangnya akhirat.  Kita tanam dengan cara menjaga hubungan baik dengan Tuhan manusia dan alam. Agar kelak setelah ajal menjemput,  bekal amal kita sudah cukup dibawa ke alam kubur dan alam akhirat nanti. 

Dunia selalu digambarkan sesuatu yang sementara.  Atau istilah jawanya "Dunyo kui namong panggonan mampir ngombe." Hidup di dunia hanya sebentar saja. Ada kehidupan yang lebih kekal setelah kematian yaitu akhirat.  Jadi semua yang kita miliki baik harta melimpah dan keluarga yang kita cinta, semua akan kita tinggalkan setelah kematian datang. Oleh karena itu,  selagi masih hidup kita bisa berbuat baik agar amal baik kita bisa menolong kita kelak di akhirat. 

Selain itu dengan kita hadir di prosesi pemakaman,  setidaknya kita bisa menghibur dan menguatkan kepada keluarga yang ditinggalkan.  Sebagai saudara atau tetangga kita bisa memberi dorongan untuk tetap tabah walaupun telah ditinggal oleh keluarga tercinta. Suatu saat kita juga akan mengalami kejadian serupa,  maka kita akan bisa belajar dari peristiwa kematian orang lain. 

Agama juga melarang bagi keluarga duka untuk berlarut-larut dalam suasana sedih berlebihan.  Karena kematian adalah suatu keniscayaan.  Hanya saja waktunya bergiliran.  Tergantung jatahnya masing-masing orang berbeda. Allah punya hak prerogatif untuk mengambil nyawa setiap hambanya.  Tidak selalu yang tua yang diambil.  Jadi jangan menunggu tua untuk beramal baik.  Karena kita tak pernah tahu nyawa kita diambil oleh-Nya. 

Demikian catatan perjalanan saya hari ini ke Kabupaten Kulonprogo hanya sekedar untuk Takziah.  Dan ternyata dari takziah ini mengajarkan banyak hal tentang nilai tolong-menolong,  kepedulian,  sosial,  ingat mati,  dan tentu dapat menguatkan keimanan kita kepada Tuhan YME. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun