Mohon tunggu...
Muhamad Jalil
Muhamad Jalil Mohon Tunggu... Dosen - Orang pinggiran

Write what you do

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenalkan Literasi pada Anak

4 Januari 2019   18:05 Diperbarui: 4 Januari 2019   18:27 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Mengawali awal tahun, kami habiskan dengan mengunjungi Islamic Book Fair (IBF) di Yogyakarta. Sungguh mengesankan setiba di venue acara. Antusiasme pengunjung membludak hingga parkir penuh. Di dalam  IBF terlihat banyak para penjual memaparkan aneka macam buku agama, pengetahuan, buku anak-anak, ensiklopedia, dan segudang lagi. 

Di sudut lain terlihat penjual menawarkan gamis, kerudung, dan obat herbal. Namun demikian, pajangan aneka macam buku lebih mendominasi hingga memenuhi gor UNY itu. Awalnya iseng kesana, tetapi tak tahunya banyak pengalaman berkesan. Yaitu pentingnya mengenalkan dunia literasi pada anak-anak. Seperti kita ketahui kata "literasi" sedang jadi perbincangan hangat di berbagai lini masa.

Saya pribadi termasuk awam dengan istilah literasi. Penasaran dengan kata itu, akhirnya kupaksakan diri untuk mengunjungi dan membaca situs yang memuat konten gerakan literasi. Tak sulit untuk mengunduh artikel literasi, tetapi harus-harus selektif dengan situs yang valid.

Dari sekian banyak definisi, saya temukan penjelasan yang gamblang dari kamus online Merriam--Webster yang kebetulan saya langgan melalui email. Di situ dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan atau kualitas melek aksara dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual (Guru Digital, 2018). 

Situs gurudigital.id mem-brackdown literasi kedalam beberapa kategori. Yaitu literasi kesehatan, finansial, digital, data, kritikal, visual, teknologi, statistik, dan informasi. Akan tetapi akhir-akhir ini, makna literasi terus dinamis tak hanya menghidupkan baca dan tulis saja, namun literasi sudah berpendar dengan sudut pandang yang lebih luas (Jessica, 2017).

Jika makna literasi tidak menyempitkan diri menjadi kemampuan baca tulis, maka saya pun sependapat dengan ide itu. Toh tak sedikit orang bisa baca tulis tetapi tidak melek kebudayaan. Contohnya pada iklan rokok tertulis dengan jelas" PERINGATAN ROKOK MEMBUNUHMU". Tapi mengapa masih banyak orang menghisap rokok? Apakah mereka kesulitan memahami isi pesan dalam bungkus rokok itu? Saya yakin mereka adalah orang berpendidikan yang pintar dan melek huruf tetapi mereka buta kebudayaan.

Jadi ingat pesan Budayawan Jawa Tengah Prie GS "Membrantas buta budaya lebih sulit daripada buta huruf". Membudayakan literasi budaya ke masyarakat memang sangat sulit dan butuh energi kesabaran. Karena sulit maka tak sedikit yang tak sabar. Akhirnya ketidaksabaran itu diwujudkan dalam himbauan-himbauan sarkas dan terkadang lucu. Misal "YANG BUANG SAMPAH DI SINI ADALAH AN**NG".

Itu baru literasi budaya, belum literasi yang lain. Betapa pentingnya literasi buat kita. Lebih-lebih dapat disemai usia sejak dini. Dan saya anggap IBF adalah bagian upaya mencerahkan orang tua akan pentingnya literasi pada anak.

Negara pun sadar akan dampak literasi bagi masa depan. Karena dengan literasi bangsa ini jadi beradab serta kompetitif dengan bangsa lain. Lewat program Nawacita muncul Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Di situ secara eksplisit mewajibkan kepada para pelajar agar membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran. Permen ini yang kemudian menjadi embrio lahirnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada tahun 2016.

Apakah GLS sudah membudaya di sekolah? Jawabannya perlu kajian penelitian ilmiah yang mendalam tentunya. Dan tidak bisa dijawab dalam artikel sesingkat ini. Kalau ini bisa konsisten, paling tidak bisa meniru jejak Jepang sebagai negara yang memiliki budaya membaca terbaik di dunia. 

Sayangnya BPS dan Unesco pada Tahun 2012, melaporkan bahwa jumlah warga masyarakat yang memiliki minat baca hanya 1:1000. Artinya, dari 1000 orang penduduk Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca (Syahrudddin, 2016). Sisanya atau 999 orang, kurang memiliki keinginan untuk membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun