Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Dibalik Mateni sing Mukti, Mukti sing Mateni

25 November 2015   19:39 Diperbarui: 25 November 2015   19:52 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bergerak keatas, diatas kaki instalasi, terdapat kardus yang menutup kerangka bambu, yang dikelilingi oleh rumbai-rumbai potongan Koran bekas, yang menutup bagian kiri kanan dan belakang bagian Koran, yang terdapat plastik kresek berwarna belang garis hitam-putih. Pada bagian ini dapat dianalogikan menjadi bagian paha hingga pinggul instalasi.

Diatas bagian tersebut, terdapat botol-botol bekas yang  melingkari instalasi setinggi kurang lebih 60cm diatas kardus bagian bagian pinggul instalasi, dengan susunan yang tidak beraturan. Botol-botol tersebut mayoritas berwarna bening, dan bekas air mineral yang sudah tidak sesuai bentuk aslinya, melainkan sudah tertekuk, bengkok, dan kotor, yang tertata dan terkait menggunakan kawat dan raffia menjadi sebuah kesatuan, yang seolah menjadi bagian badan manusia.

Diatas tumpukan botol tersebut, terdapat persimpangan kerangka dari bilah bambu yang dikuatkan dengan ikatan menggunakan rafia berwarna hitam. Diatas simpangan kerangka tersebut, terdapat ruang kosong yang di penuhi rumbai potongan kertas, yang terlihat menyerupai leher, dan kepalanya ada ember yang ada diatasnya berwarna abu-abu kehitaman, sekitar kiri-kanan ember tersebut terdapat pula potongan Koran yang berumbai-rumbai yang terlihat seperti rambut. Pada bagian ember yang Nampak seperti muka, terdapat 1 buah lingaran dari potongan plastik bekas, yang menjadi seperti mata dari muak tersebut, dan dibawahnya terdapat potongan plastic yang bebentuk seperti mulut yang terbuka.

Diatas bagian ember, terdapat kardus putih berbentuk segi empat yang menutup ember tersebut dan tancapi tutup panci berbentuk lingkaran. Disisi kanan kiri ember, terdapat potongan Koran yang dibentuk menyerupai bentuk tanduk, dan melengkung lancip kedepan, seolah siap menyeruduk.

Pemaknaan

“Mateni sing mukti, Mukti sing mateni”

Melihat dari judul karya yang diusung oleh Paguyuban Sidji menggunakan bahasa jawa “Mateni sing Mukti, Mukti sing Mateni” yang berasal dari peribahasa jawa. Secara denotatif, mukti memiliki arti kebebasan, serta mateni berarti membunuh, sehingga jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, maka menjadi “Membunuh yang Bebas, Bebas yang Membunuh” hal tersebut sesuai dengan isu yang mereka angkat, yakni mengenai kebiasaan membuang sampah yang berakibat merusak perairan sawah, yang mengakibatkan kematian tanaman disawah, kususnya padi dan tanaman pertanian lainnya.

“Mukti” yang berarti kebebasan disini, menjadi memiliki arti yang luas, jika melihat dari isu sampah, maka jelas dapat mengarah pada kebebasan membuang sampah dimana saja, tentu bukan kebebasan sesungguhnya, melainkan kebebasan tak bertanggung jawab oleh pelakunya, dimana kebebasan tersebut mengakibatkan matinya kehidupan dihilir sungai.

Sampah bekas, yang digunakan untuk menyusun instalasi ini merupakan gambaran dari sampah-sampah yang acap kali dibuang sembarangan, dan membahayakan karena botol tidak dapat terurai sehingga mematikan kehidupan alam didalamnya, yang digambarkan dengan 3 bilah bambu yang menjadi kaki instalasi. Dimana kaki merupakan tumpuan, maka 3 bilah bambu tersebut dapat diartikan sebagai 1 kesatuan tumpuan, atau kebutuhan manusia untuk mampu hidup yakni Sandang, Pangan, Papan.

Krangka instalasi yang merupakan terusan dari kaki yang sama dari bilah bambu menggambarkan tanaman yang sering hidup disekitar arus sungai, dan simbolisasi alam, namun sekaligus bisa menjadi alat transportasi sampah itu sendiri menuju ke hilir, karena mengingat bambu merupakan bahan dasar membuat getek, atau perahu bambu yang merupakan alat transportasi air. Ketidak pedulian terhadap lingkungan, khususnya persawahan dan perairan juga terlihat dari caping yang kemudian diletakkan disamping kanan kardus. Caping yang notabene dikenal sebagai pelingdung kepala bagi petani dan nelayan dari sinar matahari, justru dikesampingkan. Hal tersebu menyiratkan dengan tidak mempedulikan pembuangan sampah dengan benar, maka akan menjadikan kehidupan para petani dengan sawahnya dan nelayan dengan perairannya menjadi tidak aman, atau terancam, karena tempat mereka mencari sandang, pangan, papan ini telah rusak dengan adanya sampah.

Melihat bentuk instalasi yang mengerucut keatas, lebar dibagian bawah dan runcing diatas, menjadi sebuah pertanyaan, mengingat instalasi tersebut disusun dari berbagai sampah, apakah bagian bawah instalasi lebih lebar dari bagian atas menggambarkan bahwa mayortitas orang yang hidup di kalangan bawah atau ekonomi rendah cenderung leih sering membuang sampah sembarangan dibanding dengan masyarakat yang hidup pada golongan atas atau ekonomi tinggi, yang dimana digambarkan dengan lingkaran yang terbuat dari panci yang seolah menyimbolkan parabola, atau pengontrol jaringan menandakan mereka yang hidup dikalangan atas sudah mau bisa mengontrol pembuangan sampahnya? Hal tersebut kemungkinan sangat bisa terjadi mengingat kebisaan orang yang hidup dengan berkecukupan harta mereka hanya membuang sampah rumah tangga sisa memasak mereka yang diwakilakn tutup panci, yang merupakan tempat memasak, kemudian 2 tanduk yang terbuat dari koran dimana mereka sering membaca berita dari surat kabar untuk mencari peluang bisnis yang merupakan senjata mereka untuk bertahan hidup, sehingga digambarakan dengan bentuk tanduk, dan ember bekas yang merupakan simbolisasi bekas pembangunan, yang sudah sering mereka pasrahkan atau pada tukang sampah kelialing yang mengurus sampah tersebut sehingga justru tidak membuang langsung kealam? Mungkin. Sedangkan orang yang hidup di kalangan bawah, mereka cenderung sering kurang kesadaran dengna membuang sampah semabrangan, apalagi yang tingga; dibantaran sungai, ada anggapan ketika membuang disungai sampah aka hanyaut, tanpa berfikir diujung hilir sampah tersebut menumpuk dan menutup 3 landasan hidup manusia yakni sandang,pangan dan papan tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun