Hari ini, 8 Agustus 2018 bertepatan dengan 51 tahun Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berdiri. Asosiasi yang awalnya terdiri dari negara Malaysia, Indonesia, Filiphina, Singapura dan Thailand itu kini terus berkembang.
Tidak hanya jumlah anggotanya yang berkembang hingga 11 negara. Tapi isu dan tantangan terhadap efektivitas rezim kawasan ini juga semakin berkembang. Salah satu tantangan terberat itu ada dalam konflik Laut China Selatan.
Konflik Laut China Selatan merupakan sengketa teritori. Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 meter pkiloersegi (1.400.000 sq mi).
Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya. Laut ini juga memiliki kekayaan minyak dan gas alam yang besar. Kini, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei, Vietnam dan RRC sedang berebut klaim atas wilayah tersebut.
Ketika klaim atas teritori tersebut belum menemukan titik temu, di saat bersamaan RRC terus melakukan reklamasi dan pembangunan. Bahkan pulau buatan hasil reklamasi itu, kini sudah dalam tahap pembangunan. Posisi Indonesia memang bukan bagian dari negara yang berkonflik. Namun secara politis memang turut memiliki pengaruh dalam proses penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.
Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki beberapa peran strategis bagi ASEAN yaitu Indonesia sebagai manager of crisis, agent of change baik institusional ataupun normatif, hingga sebagai pengangkat profil ASEAN dalam skala global.
Indonesia memiliki potensi power yang kuat untuk mengambil peran penting dalam menyelesaikan konflik dan krisis yang mengancam stabilitas keamanan regional ASEAN. Sikap diamnya Indonesia, itu merupakan bagian dari sikap politik yang berpengaruh besar terhadap eskalasi konflik kawasan itu.
"Ini adalah urusan negara lain dengan negara lain, Tapi kalau kita bisa masuk dan bisa berperan, juga lebih baik. Tapi harus kita amati dan cek, apakah kita masuk ke konflik itu justru membuat kita berhubungan tidak baik dengan Tiongkok, lalu apakah kita bisa kasih solusi."
Penekanan Presiden Joko Widodo pada urusan dalam negeri, kemudian hubungan baik dengan RRC. Atau dengan kata lain, Indonesia kurang bersedia untuk sepenuhnya terlibat dalam platform multilateral ASEAN atau bahkan terkesan melepaskan diri dari proyek regionalis, sehingga mengurangi sentralitas peran regional ASEAN yang diklaim.
Kata kunci untuk memahami ini adalah ambisi menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia. Konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia difokuskan pada lima pilar utama. Pertama, Indonesia akan membangun kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut.