Mohon tunggu...
Eddy Pepe
Eddy Pepe Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Betawi Bekasi Asli.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Matahati Kita Semua Buta

26 Februari 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore turun perlahan di stasiun Senen. Kereta keluar masuk stasiun mengantar dan mengambil penumpang. Ratusan orang mundar-mandir di selasar stasiun yang memanjang dari utara ke selatan. Ratusan bangku tunggu tersebar rapi di lantai keramik berwarna terang.

Di satu bangku, seorang gadis belia duduk diam. Kepalanya tergeletak ke sandaran bangku besi kokoh. Kakinya menjulur ke lantai keramik kelimis. Sandal jepit dekil masih menempel di telapak kaki mungilnya. Lelap sekali.

Kaos dengan logo “yensid” membungkus tubuhnya yang kelihatan menggunung di bagian dada. Celana pendek warna pink menempel ketat, melindungi bagian bawah tubuhnya. Ia diam terlelap. Rambut panjang terjuntai-juntai.

Bangku tempatnya lelap berderet memanjang. Di sisi kiri si gadis ada satu ruang untuk satu orang duduk di sana, sementara di sisi kanan mampu menampung lebih dari sepuluh orang. Satu dua orang duduk, berdiri, berganti, bangkit lagi, datang lagi, ganto orang lagi. Puluhan orang sudah silih berganti duduk di sisi kiri dan kanan si gadis. Tak satu orang pun yang memperhatikan, tak seorang pun mau tau siapa dan sedang apa si gadis.

Gadis duduk agak mengangkang, untung dia menggunakan celana pendek, seandainya tidak – daerah kewanitaannya pasti tampak ke mana-mana. Sekilas tak ada yang menarik dari gadis tersebut. Mungkin semua mata memandang gadis gadis ini selintas – gelandangan yang sedang kelelahan. Tak ada satu pun matahati dari ratusan, bahkan ribuan orang yang berlalu-lalang di situ tergerak memandang si gadis sebagai mahluk Tuhan yang memiliki harkat dan martabat. Semua matahari tampak buta.

Dari celana ping-nya, dibagian sensitif wanita tampak warna merah yang lebih tua dari warna celananya – selangkangannya berdarah. Darah dari pusat kewanitaannya.

Ia begitu lelap. Lelah. Sampai tidak lagi merasakan apa yang dialaminya. Tak seorang pun peduli akan gadis tersebut.

Darah di selangkangannya sama sekali tidak menarik iba, tidak membuka matahari sesamanya yang hadir di situ. Semua sibuk dengan dirinya. Semua konsen dengan kehidupannya masing-masing.

Gadis belia yang lugu, mengeluarkan darah dari selangkangannya. Entahlah apa yang terjadi dengan dirinya. Tidak tahukah ia akan kedewasaan seorang wanita – bahwa wanita ditakdirkan untuk menstruasi. Entahlah. Dia lelap atau pinsan menahan sakit akibat diperkosa. Entahlah. Siapa peduli – matahati kita semua telah buta.

Maret 1, 2010 – 11:27 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun