Seorang tenaga pengajar tampak asik memberikan pendidikan kepada beberapa orang muridnya di sebuah gubuk tanpa dinding di desa Terpencil, Tertinggal, Terluar (3T) di Kecamatan Belengkong, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Ia bernama Ahmad Fauzi seorang tenaga pengajar SDN 012 UPT VII di Desa Sapta Mulya Jaya, Kecamatan Teluk Belengkong. Disekolah dasar tersebut hanya memiliki 13 orang murid belajar disebuah gubuk tanpa dinding dan memiliki papan tulis tua seperti film laskar pelangi.
Keberadaan sekolah dasar tersebut berada disebelah utara Kabupaten Inhil dan hanya sekitar kurang lebih 5 Km berbatasan langsung dengan Kabupaten Pelalawan. Â Kondisi sekolah yang berada di desa transmigrasi dikelilingi perusahaan besar.
Desa Mulya Jaya sangat terisolir, akses untuk menuju lokasi sekolah dari ibu kota kabupaten sangat sulit harus menempuh jalur laut menuju guntung baru ke desa saka rotan lalu menggunakan sepeda motor sekitar 30 menit melalui jalan perusaahan, baru bisa sampai ke sekolah tersebut.
Masyarakat setempat terpaksa memilih bekerja di perusahaan, dikarenakan bencana alam kebakaran lahan membabat habis kebun mereka mengakibatkan kebun kelapa mereka rusak parah.
Fauzi memaparkan, saat ini sekolah dasar tersebut memiliki 13 orang murid. Kelas 1 jumlahnya hanya 1 orang dan kelas 2 hanya 3 orang, kelas 3 jumlah muridnya 5 orang dan murid kelas 4 tidak ada sedangkan murid kelas 5 berjumlah 2 orang dan kelas 6 2 orang.
Untuk tenaga pengajarnya ada 3 orang terdiri dari 2 pegawai negeri dan satu honorer untuk membantu operasional sekolah. Sedangkan dana BOS tidak mencukupi karena sedikitnya jumlah murid.
Kurangnya fasilitas belajar dan mengajar, bahkan gedung sekolah hampir roboh, tidak menyurutkan semangat mereka untuk mencerdaskan anak bangsa. Kepala sekolah dan tenaga pengajar berjuang mengajukan langsung bantuan kepada Pemerintah Pusat melalui aplikasi Dapodik Sekolah dengan memaparkan kondisi real sekolah di desa terpencil tersebut.
"Sekolah akhirnya mengajukan permohonan melalui  kementrian PUPR. Diawal Januari tahun 2020, SDN 012 UPT VII Sapta Mulya Jaya direhab sebanyak 6 lokal yang kucuran dananya mencapai 1 Miliar," sebut Fauzi
Dikarenakan adanya bantuan tersebut, gedung sekolah reyot terpaksa dibongkar untuk membangun gedung baru. Proses belajar mengajar terpaksa menumpang ke gubuk tanpa dinding tersebut.
"Kami akhirinya menumpang ke tempat yang bisa di pakai untuk proses belajar mengajar walau sedikit jumlah muridnya. Semangat anak-anak disini untuk menuntut ilmu sangat tinggi karena itu saya menggelar mereka seperti laskar pelangi," jelasnya.
Dari Cerita Kondisi Sekolah Tersebut, yang Jadi Sorotan Ialah Realitas Keberadaan Perusahan Korporasi
Dari pemaparan kondisi real sekolah di desa terpencil dan terisolir tersebut, keberadaannya dikelilingi perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi tidak memberikan efek membangun dibidang pendidikan bahkan kepada masyarakat binaan. Pasalnya, gedung sekolah dan rumah dinas guru didirikan pada tahun 1998 tidak tersentuh oleh bantuan pihak korporasi.
Bayangkan jika pihak sekolah tidak mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah, sedangkan pihak perusahaan yang mengeruk sumber daya alam tidak menghiraukan kepentingan masyarakat binaan. Tentu saja sangat miris dengan kondisi ini. Padahal Perusahaan berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial ke masyarakat melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR).
Hal itu berdasarkan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. "Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan".Â
Di ayat (2) menyebutkan "Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran".
Inilah yang menjadi landasan bagi perusahaan swasta yang beroperasional di Indrgairi Hilir, menyisihkan laba bersih perusahaan yang diraih untuk selanjutnya disalurkan ke tengah masyarakat dengan tepat sasaran melalui berbagai program kesejahteraan masyarakat, meliputi bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang lingkungan, bidang infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, manajemen bencana maupun bantuan Khusus.
Tapi kenapa kontribusi dari pihak perusahaan sangat minim kepada masyarakat binaanya. Inilah salah satu bukti realitas keberadaan perusahaan korporasi hanya menikmati sumber daya alam. Sedangkan dampak negatif seperti hama kumbang, kebakaran lahan serta sengketa lahan, pihak masyarakat yang menanggung beban.
Penulis: Daud M Nur (artikel ini sudah terbit di Gagasanriau)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H