"Aku orang kaya, kamu orang miskin ..."
Lagu permainan dari anak-anak pondok Boro itu masih terngiang di telingaku. Beberapa kali aku ke sana, entah sendiri, bersama keluarga dan bersama Rumpin Rumah Bangjo, LSM PKBI Jateng yang membantu membimbing anak-anak jalanan dan keluarganya.
***
Dan Mei itu, aku kembali lagi ke sana. Tidak, aku tidak sendiri. Aku mewakili "My bag is your bag" sembari mengajak Semarkutigakom dan Rumpin. Aku bahagia sekali setelah dari sana, apalagi mereka, anak-anak jalanan.
***
Pagi-pagi, Wang sudah tiba di rumah ibuku.
"Lho, kok sekarang? Katanya sore?" Aku kaget Wang sudah ada di daun pintu. Admin Semarkutigakom ini memang paling rajin. Kalau aku datang, ia selalu riang menyambutku, menyediakan waktu di antara kesibukannya. Katanya, aku nggak datang setiap hari. Dia ini juga paling jago mentraktir aku. Lain kali aku yang bayar.
"Aku ada urusan deket sini, makanya mampir sekalian." Wang meringis. Pesepeda ini memang jago.
"Wah, aku ada janji ke kampus, mau bikin talkshow. Nanti saja, ya. Kemarin katanya sore. Aku sudah konfirmasi Pondok dan Rumpin, kita datang sore. Ini masih pada sibuk." Aku enggan mengganti jadwal. Ribet.
"Ya, sudah sore, aku pergi lagi." Wang pun menuju mobilnya dan menghilang di ujung jalan sana. Senyumnya masih mengembang di antara bibir.
"Iya, nanti kita belanja di ADA. Balik ke sini lagi, bungkus, lalu ke Pondok." Aku mencoba mengatur jalannya jadwal kami hari itu. Aku ini memang suka ngatur. Haha.
***
Beberapa jam kemudian, kami bertemu di swalayan. Setelah semua belanjaan yang dibutuhkan, yakni sikat gigi, pasta gigi, pisang, anggur, pensil dan jelly sudah ada di keranjang, aku pun membayar di kasir. Antrinya panjang.
Panas matahari menyengat tubuhku dan barang-barang yang kami beli. Karena Wang pakai mobil bak terbuka, semua ditarus di belakang. Bagian kemudi nggak ada tempat.
Berkali-kali aku menoleh ke belakang, takut kalau barangnya pada kabur atau hilang ...
Alhamdulillah sampai rumah, semua utuh dan nggak terbakar matahari. Aku mengangguk. Kayaknya betul info di Instagram atau tik tok bahwa di Semarang, orang bisa goreng telur ceplok di aspal. Saking panasnya pada siang hari kali, ya.
Tiba di rumah, kami cepat-cepat membungkus semuanya di 60 kantong. Lagi-lagi, semua harus di bak terbuka untuk dibawa ke Pondok. Aku senang, mereka tidak terbakar dari sengat matahari.
Jalan tol hanya lima menit dari rumah, kami bergegas ke sana untuk menuju Pondok. Pasti anak-anak sudah nggak sabar menanti kami. Panitia lainnya sudah sampai sejak lama. Padahal sudah aku bilang, kami harus berangkat bersamaan dari rumah masing-masing, supaya nggak saling nunggu.
Lima belas menit berlalu, kami ada di Pondok Boro. Anak-anak mulai dikumpulkan. Semua harus baris, untuk pembagian paket. Supaya tahu siapa yang sudah dapat, siapa yang belum. Konon ada 60 anak jalanan yang ada di Pondok, hanya saja banyak dari mereka yang sedang mengamen, nyemir atau pekerjaan jalanan lainnya. Jadinya paket dipindahtangankan kepada keluarganya yang ada di rumah. Sebelumnya, kami ada perkenalan dan menyampaikan visi-misi pembagian.
Pembagian selesai, kami pun foto bersama. Alamak, ada lima anak yang nggak mau beranjak dari mobil Wang yang terbuka. Kalau dibawa, nanti dikira menculik. Disuruh pergi tidak mau. Sampai akhirnya kami janji akan kembali lagi kalau ada rejeki, mereka mau turun. Jumpa lagi! (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H