Raja Ampat. Siapa yang nggak pengen ke sana, aku ambilkan seblak. Dan sungguh, kunjungan kami berempat ke sana adalah sesuatu. Nggak hanya faktor kesehatan prima, yang waktu itu masih belum seseram zaman corona, tapi juga waktu dan tentu kekuatan finansial rumah tangga. Kami sungguh beruntung mendapat kesempatan ke sana.
Akhirnya dari perjalanan ke ujung Barat Indonesia itu, kami berhasil mengunjungi tempat keren seperti Geopark dan Batu Pensil, Piaynemo, Wayag, Telaga Bintang, Desa Wisata Arborek, Friwen, Friwen Wall, Pasir Timbul. Sepanjang itu perjalanan kami, hingga ada kisah menarik yang aku temukan di Friwen.
Awalnya, kapal cepat kami menyentuh bibir pantai Friwen. Setelah nahkoda dan asistennya berhasil mengaitkan kapal ke pohon supaya nggak lari-lari terhanyut oleh ombak, kami turun. Pulau Friwen, Waigeo Selatan, Papua. Kami datang!
Oh, sepi. Sepi sekali di sana.
Anak-anak kami sudah lintang - pukang berlarian ke sana ke mari. Apalagi ada anjing pantai yang jinak. Anak-anak kami penyuka binatang. Maklum, mereka besar di pedesaan Jermna. Kuteliti wajah mereka, warna bahagia luar biasa begitu merona, bukan dari terik mentari.
Nggak dinyana, beberapa menit kemudian datang tiga anak laki-laki kecil. Mungkin mereka tertarik ada orang asing (suami dan dua anak-anakku yang berambut jagung) datang.
Mereka pun mengintip gerak-gerik kami yang memakai sepatu katak dan kacamata snorkeling. Bahagianya menatap raut wajah polos anak-anak Papua.
Aku melambaikan tangan kepada mereka. Dibalas dengan senyuman malu. Ah, tipe anak Indonesia. Boleh lah malu, asal jangan malu-maluin, ya nak.