"Tempat gelandangan, Reeperbahn, taman kanak-kanak.... Ada usulan lagi?" Dosen yang berdiri di depan beamer bertanya serius sekali.
"Bagaimana dengan Babyklappe?" seorang gadis mengacungkan jari dan mengusulkan untuk berkunjung ke tempat bernama Babyklappe. Itu tempat penitipan bayi yang nggak bisa diurus orangtuanya.
Hah? Babyklappe? Apaan, sih? Aku nggak tahu, supaya tahu, aku mengangkat tangan, saat vote dilakukan di dalam kelas. Tujuannya, semakin banyak yang vote, semakin besar kesempatan kami untuk tahu apa itu Babyklappe dan bagaimana manfaatnya bagi masyarakat.
Kebetulan, aku mengajar di TK kecil, untuk anak umur 10 bulan sampai 3 tahun. Untuk itulah, aku pengen ke sana, lantaran ada hubungannya dengan bayi.
***
Sebulan kemudian, kami benar-benar berangkat ke Hamburg dan... berada di tempat itu, Babyklappe!
Pagi-pagi seusai sarapan, kami berjalan kaki menuju Babyklappe. Udara begitu dingin, aku benahi jaket tipis yang membalutku di musim gugur waktu itu. Hamburg memang kota pelabuhan, banyak angin. Syal, topi penutup kepala, baju hangat dan jaket itu pasti jadi pelengkap untuk menapaki jalanan Jerman saat itu.
Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di depan gedung. Aku pandangi anak tangga menuju pintu. Satu-persatu kami menapakinya dan menuju pintu yang dibuka oleh pemiliknya.
Seorang pria setengah baya tersenyum mengucapkan selamat datang kepada rombongan kami. Kami diajak naik melalui tangga yang kecil dan sempit. Kami dipersilakan untuk duduk manis di kursi yang telah disediakan. Permen dan air putih di pojok ruangan, kami boleh mengudapnya nanti.
Penitipan bayi dibangun tahun 2020
Si bapak muda mulai menceritakan awal mula berdirinya Babyklappe. Tepat tanggal 20 April 2000, ia bersama kawan-kawannya di perkumpulan Hamburger Vereins Sternipark memiliki inisiatif untuk memberikan tempat bagi ibu muda yang nggak siap memiliki anak atau perempuan yang nggak mau punya anak tapi sudah terlanjur hamil dan melahirkan, untuk menitipkan bayinya di tempat itu.
Iya, daripada bayi-bayi dibuang sembarangan, sampai di sampah. Itu seperti yang terjadi di Hamburg pada tahun 1999; seorang bayi ditemukan mati karena dibuang di sampah recycling.
Entah bapak atau ibu si bayi dipersilakan untuk datang ke tempat mereka itu. Secara anonim, bayi bisa diletakkan di sebuah lubang berpintu (bisa dibuka tutup kapan saja) yang terhubung dengan bangunan kamar di dalam gedung.
Di sana, terpasang kamera, supaya petugas (bidan, dokter) bisa tahu kapan saja ada bayi yang diletakkan dan segera datang untuk mengambil, mengurus, dan merawatnya.
Meja dengan tempat tidur bayi didesain sedemikian rupa supaya bayi aman dan nyaman diletakkan di atasnya. Di sekelilingnya, aku lihat banyak perlengkapan bayi yang diperlukan, mulai dari kepala hingga kaki.
Bisa saja bayi datang dengan pakaian yang kurang lengkap, bisa diambilkan dari rak. Jika keadaan kurang bagus, ada obat-obatan dan peralatan khusus untuk merawatnya. Dokter siap di tempat.
Sedikit lama aku berdiri di tempat bayi itu, membayangkan proses yang pasti dramatis kayak film Hollywood. Pintu terbuka dari luar, ada tangan dewasa yang meletakkan bayi tanpa permisi, bayi menangis atau masih terlelap karena masih merah- mengantuk, orangtua pergi.
Beberapa menit kemudian datang bidan dan atau dokter. Bayi diambil, diurus, bayi menangis. Ada sentuhan beda pada kulit sang bayi. "Mereka bukan bapak/ibuku."
Pro kontra Babyklappe
Sudah banyak yang tahu bahwa Jerman yang memiliki 16 negara bagian, mayoritas penduduknya memiliki penganut agama Katholik.
Walau banyak di antara mereka yang keluar dari gereja karena faktor pembayaran pajak gereja yang tinggi, nilai dan norma dari zaman nenek moyang masih terpatri. Masih banyak orang yang religius yang memandang bahwa keluarga dan atau perkawinan adalah sakral.
Aku menelan permen rasa stroberi yang diedarkan seorang teman. Rasanya lega karena dari tadi aku cuma menelan ludah mendengar semua cerita yang tumpah di ruangan kecil bersama kami 30 orang siswa jurusan pendidikan sosial. Dosen kami sesekali manggut-manggut.
Si bapak menceritakan bahwa niat mereka ini baik tapi tak selalu diterima baik oleh masyarakat. Mereka sudah menemukan solusi supaya tidak banyak bayi yang dibuang sembarangan tapi dirawat oleh pihak yang bertanggung-jawab dan berkompeten di dalamnya.
Buktinya setelah 22 tahun berdiri, sudah tidak ada lagi bayi yang dibuang di sampah. Namun, masih ada cercaan dari masyarakat untuk menutup tempat ini karena mendukung para orangtua tidak bertanggung-jawab atau pria serta wanita untuk berlaku seks yang menyimpang tapi belum siap memiliki atau merawat bayinya.
"Apakah ada orangtua yang meminta anaknya dikembalikan setelah dititipkan di sini?" Teman saya yang tadinya termangu, segera bertanya. Matanya sedikit berkaca. Ia memang terkenal melankolis. Cerita ini menyentuh hatinya, walau ia belum punya anak, apalagi pacar.
Dijelaskan si pria, bahwa orangtua bayi yang berubah pikiran dari membuang bayinya ke tempat itu, diberi hak untuk mengambil kembali bayinya dalam kurun waktu 8 minggu. Jadi ada kasus juga setelah bertahun-tahun, ada orangtua yang ingin anaknya kembali akan menjalani proses hukum yang berbelit.
Aku menggelengkan kepala. Berurusan dengan hukum di Jerman? Bikin deg-degan dan takut tingkat langit. Selain panjiaaang, berbelit, bahasanya sulit, banyak kertas yang harus ditumpuk ke meja hijau, beanya mahal. Syukur-syukur kalau ada pengacara gratisan, kalau nggak bisa pusing pala Barbie.
Sumbangan untuk para bayi
"Bagaimana tempat ini menghidupi para bayi yang dititipkan?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
Aku tahu apa dan berapa bea yang harus dikeluarkan untuk anak-anak untuk beragam kebutuhan. Aku sudah ibuk-ibuk, yang waktu mereka balita, aku belum kerja.
"Ada sumbangan dari gereja sampai pribadi. Pernah waktu aku di taman depan gedung, ada orang mendekat dan menyerahkan amplop berisi 100 euro. Kata si ibu, untuk bayi-bayi yang dititipkan di tempat saya bekerja." Si bapak tersenyum, terkesan bahagia bahwa pertolongan bisa datang dari siapa saja, kapan saja karena Tuhan tahu apa yang dilakukannya demi kebaikan bersama dan dari hati yang dalam.
Jangan lupa juga, ya, walau Jerman tidak memiliki UUD pasal 34, setiap anak di Jerman yang terdaftar, akan dipelihara oleh negara, akan mendapatkan sokongan tiap bulan untuk mencukupi kebutuhannya.
Kalau belum naik lagi, rata-rata 200 euro per anak. Satu euro kalau nggak salah Rp 16.000. Dana ini digunakan oleh orangtua (baik kandung atau angkat) untuk memelihara anak-anak agar mereka sejahtera secara lahiriah, membelikan kebutuhan yang mereka pergunakan sehari-hari.
***
Babyklappe di Hamburg yang aku kunjungi ini adalah satu dari sekitar 100 Babyklappe yang ada di seantero Jerman. Dari sini kita tahu bahwa ada kemauan keras dari warga Jerman supaya bayi-bayi yang lahir mendapatkan hak untuk hidup dan selamat dari kejahatan orangtuanya yang ingin membuang mereka sembarangan.
Dari cerita di atas tadi, semoga menjadi peringatan bagi kita semua. Bayi adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika memang belum siap untuk merawat bayi, sebaiknya ditunda proses pembuatannya. Agar banyak waktu untuk persiapan jasmani dan rohani dari masing-masing orangtua.
Nggak tahu, ya, apakah di Indonesia ada tempat seperti "Babyklappe" di Hamburg ini atau tidak. Jika adapun pasti heboh, karena di Jerman sendiri yang negeri maju, modern dan demokrasi, awalnya juga ditentang dan mengalami proses panjang sampai suatu ketika masyarakat mengerti visi-misi Babyklappe dan dampak bagus darinya terlihat di depan mata.
Butuh setidaknya 20 tahun untuk membuat semua orang membuka mata dan hati untuk penitipan bayi "Babyklappe."
Sekarang tempat penitipan bayi ini juga menjadi tempat gratis bagi para ibu muda yang akan melahirkan para bayinya. Supaya mereka ini siap secara lahir dan batin dengan kedatangan bayi suatu hari nanti. Dan tidak ada lagi bayi yang dibuang sembarangan dan tidak ada lagi bayi yang dititipkan lagi. Para orangtua lebih suka untuk merawatnya sendiri daripada main titip!
Banyak cerita orang di tanah air bahwa ibu atau orangtua yang tidak siap merawat bayinya akan menitipkan pada keluarganya (ibu, tante, budhe, nenek) secara baik-baik. Ini menjadi alternatif bagus karena kekeluargaan di negeri kita ini masih tergolong tradisional, memegang nilai-nilai luhur yang di beberapa negara mungkin sudah mulai pudar.
Sekalipun jika sudah terlanjur bayi terlahir dan nggak ada keluarga yang dititipi, sebaiknya tidak dibuang di sampah sembarangan.
Selain bisa meninggal dunia karena tidak mendapatkan tempat hangat yang dibutuhkan, tidak terlindungi, tidak tercukupi kebutuhan makan dan minumnya (susu ibu atau instan) dan tidak mendapatkan kasih sayang yang dinanti-nanti setiap bayi di manapun ia berada, bayi juga manusia; punya rasa, punya hati dan punya hak untuk hidup.
Bulan Ramadan, bulan penuh berkah, bulan penuh kebaikan. Semoga apapun yang baik akan diberi jalan yang lapang dan terang. Selamat berpuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H