Si bapak muda mulai menceritakan awal mula berdirinya Babyklappe. Tepat tanggal 20 April 2000, ia bersama kawan-kawannya di perkumpulan Hamburger Vereins Sternipark memiliki inisiatif untuk memberikan tempat bagi ibu muda yang nggak siap memiliki anak atau perempuan yang nggak mau punya anak tapi sudah terlanjur hamil dan melahirkan, untuk menitipkan bayinya di tempat itu.
Iya, daripada bayi-bayi dibuang sembarangan, sampai di sampah. Itu seperti yang terjadi di Hamburg pada tahun 1999; seorang bayi ditemukan mati karena dibuang di sampah recycling.
Entah bapak atau ibu si bayi dipersilakan untuk datang ke tempat mereka itu. Secara anonim, bayi bisa diletakkan di sebuah lubang berpintu (bisa dibuka tutup kapan saja) yang terhubung dengan bangunan kamar di dalam gedung.
Di sana, terpasang kamera, supaya petugas (bidan, dokter) bisa tahu kapan saja ada bayi yang diletakkan dan segera datang untuk mengambil, mengurus, dan merawatnya.
Meja dengan tempat tidur bayi didesain sedemikian rupa supaya bayi aman dan nyaman diletakkan di atasnya. Di sekelilingnya, aku lihat banyak perlengkapan bayi yang diperlukan, mulai dari kepala hingga kaki.
Bisa saja bayi datang dengan pakaian yang kurang lengkap, bisa diambilkan dari rak. Jika keadaan kurang bagus, ada obat-obatan dan peralatan khusus untuk merawatnya. Dokter siap di tempat.
Sedikit lama aku berdiri di tempat bayi itu, membayangkan proses yang pasti dramatis kayak film Hollywood. Pintu terbuka dari luar, ada tangan dewasa yang meletakkan bayi tanpa permisi, bayi menangis atau masih terlelap karena masih merah- mengantuk, orangtua pergi.
Beberapa menit kemudian datang bidan dan atau dokter. Bayi diambil, diurus, bayi menangis. Ada sentuhan beda pada kulit sang bayi. "Mereka bukan bapak/ibuku."
Pro kontra Babyklappe
Sudah banyak yang tahu bahwa Jerman yang memiliki 16 negara bagian, mayoritas penduduknya memiliki penganut agama Katholik.
Walau banyak di antara mereka yang keluar dari gereja karena faktor pembayaran pajak gereja yang tinggi, nilai dan norma dari zaman nenek moyang masih terpatri. Masih banyak orang yang religius yang memandang bahwa keluarga dan atau perkawinan adalah sakral.