Walaupun aku sudah 11 tahun tinggal di Semarang, Indonesia, aku belum pernah seumur - umur mencoba es selendang mayang. Paling banter cobain es kolaknya Gana, isi pisang dan ketela. Takutnya kalau coba es kembar mayang, nanti aku muntah, sakit perut, nggak suka dan lain-lain.
Gana memberikan gelas padaku. Aku menerimanya dengan suka-cita. Ya, ampun, enak, man! Gel kue lapis warna hijau-putih-merah yang mirip bendera Italia itu berenang di dalam gelas. Wah, kalau diambil lari-lari, nih. Bikin geregetan, aja. Gemes! Eh, begitu masuk mulut rasanya kenyal dan nendang banget. Sirupnya merah dengan air santan warna putih pekat yang lezat. Tapi baru dua suap, Gana sudah merebut gelas dari tanganku. Idih, pelit banget.
"Ih, jangan dihabisin, dong. Udah aku pesenin, deh." Istriku ngomel, ia menuju si penjual es. Dipesannya es satu lagi, untukku. Aku malu. Tukang minta, kata istriku "pengenan."
"Nggak usah, buk, kamu kan batuk. Nggak boleh minum es. Es-nya buat aku. Ini aja. Murah." Memang gara-gara dipijat sama ibuk-ibuk dari pantai, Gana batuk berat. Habis satu botol obatnya. Soalnya Gana takut nggak boleh terbang kalau ada gejala yang mirip corona. Untung waktu aku tes dengan pak corona yang aku bawa dari Jerman, ia negatif. Jadi batuk biasa saja, sih.
Hanya saja pasti bikin resah penumpang lain kalau naik pesawat batuk-batuk melulu. "Awas, corona" Iya, kan? Istriku keras kepala sih, maunya pijat murah tapi efeknya mahal. Si tukang pijat batuk nggak pakai masker. Memang cuma Rp 100 K sejam (di Jerman 30 menit Rp 500 ribuan), sakitnya itu lho yang nggak nahan.
Baiklah, dari mencoba kelezatan es selendang mayang tadi, istriku tanya apa aku mau dibeliin kerak telor khas Betawi. OMG. Aku takut kolesterol. Maklum, aku gendut, jadi harus hati-hati mengkonsumsi makanan dan minuman, jangan sampai memicu jadi tinggi. Orang Jerman memiliki harapan hidup tinggi sampai 80-90 bahkan 100 tahun. Namun kalau cara hidupku nggak sehat, akan memperpendeknya, betul, ibuk-ibuk?
Ah, es selendang mayang. Setelah sejam ikut nge-trip, waktunya pulang. Anak-anak kami juga ikut waktu itu, tapi malu-malu gitu banyak orang Indonesia.
Kalau di Jerman, mereka malu-maluin. Kata mereka, sudah kepanasan, mau ngadem di dalam hotel aja. Oh, no, aku nanti sendirian tanpa anak-anak dan Gana ke sana- ke mari sama teman-temannya. Nggak asyik. Ya, sudah aku cari alasan ini saja, "Buk, aku ke hotel ya, antar anak-anak yang bosen. Takutnya nanti kalau pergi sendiri diculik orang, mahal. Aku bisa bangkrut." Padahal sungguh, aku males jalan-jalan dengan bersimbah peluh, Jakarta panas banget hari itu. Aku takut bau badan dan kakiku menyebar ke mana-mana. Tanpa Gana di sisiku, aku bisa "lonely."
Semoga ceritaku ini menginspirasi teman-teman di Kompasiana dari Sabang sampai Merauke, kalau aku yang bule, orang asing dari Jerman saja doyan es selendang mayang dan jatuh hati, kalian yang orang Indonesia khususnya orang Jakarta harus lebih dari aku. Iya, kan? Jangan-jangan belum pernah tahu es selendang mayang. Jangan, karena pelestari kuliner tradisional yang merupakan aset wisata lokal Indonesia sebenarnya bisa dari warga sendiri. I love Indonesia.
Sekian. (BS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H