Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Siapa Bilang Sudah "Booster" Bisa Bebas Corona?

16 Maret 2022   22:18 Diperbarui: 17 Maret 2022   02:05 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Selasa, hari pertama setiap minggu untuk masuk kuliah. Duduk di sebelah kanan saya, seorang ibu beranak dua yang lahir dan besar di Iran. Ia sudah divaksin tiga kali alias booster. Dua bulan lebih awal dari saya.

Cerita sana-sini bab corona. Pertama kali ia divaksin dengan Astra Zeneca, ia mengeluh sering pusing. Begitu pula kedua dan ketiga, baru dapat Biontech dari Pfizer. 

Sepertinya, badannya kurang paham dengan cairan yang ditusukkan ke dalam tubuh. Atau waktu itu kondisinya lagi nggak fit, stres, dan sejenisnya kali.

Sedang asyik ngerumpi, teman sebangku yang rambutnya ikal itu tiba-tiba mengambil HP dan berbicara dengan seseorang di seberang sana. Ah, ia harus menjemput anak sulung, karena begitu dites ternyata positif.

Begitulah Jerman daerah tempat saya tinggal di Jerman Selatan, tes negatif dilakukan setiap hari. Entah itu di sekolah atau tempat kerja. 

Selain untuk kenyamanan bersama, pendeteksian ini disinyalir mampu mengerem penyebaran corona yang tenggelam kerana berita perang Ukraina, namun ternyata jumlah pasien corona di Jerman makin naik.

Tiga kali tes, positif walau booster (Dokumentasi Gana)
Tiga kali tes, positif walau booster (Dokumentasi Gana)

Booster = Bebas Corona?

Balik ke teman saya tadi. Kebetulan suaminya ada di rumah, jadi ia tidak perlu meninggalkan kelas. 

Setelah itu kami berbincang-bincang tentang akhir pekan. Asyik memang ngobrol perkara yang lain, selain soal kuliah. Pusing, ah, Bahasa Jerman susahhhhhh!

Tiba-tiba dosen masuk ruangan, kami pun menghentikan percakapan dan membuka tablet. Alamak, sudah emak-emak, tekan sana-sini lemot banget. "Welcome to technology, people." 

Delapan jam kuliah dengan sistem digital termasuk melelahkan, untung hari cepat berlalu. Kami diizinkan untuk pulang begitu bel berbunyi.

Keesokan harinya, hari Rabu, kami bertemu lagi. Ia mengeluh nggak enak badan. Saya pijat pundaknya. Kata saya, "Wah, semoga kamu nggak ketularan anak lanang." 

Saya segera memperbaiki posisi duduk, pura-pura menjauh dan memperbaiki letak masker yang mencong supaya betul-betul rapat. Cairan disinfektan saya balurkan di kedua tangan.

"Ya, nggak lah, aku sudah dibooster. Dan anakku dikarantina di kamar." Katanya lirih. 

Tawanya terdengar merekah. Ia minta cairan yang sama kemudian sibuk meratakan di jari-jemarinya yang lentik.

Sehari setelah perbincangan terakhir itu, kami harus bekerja. Biasanya, kami baru bertemu hari Jumat. Tapi ternyata pada hari Jumat, ia pamit. Yahhh, positif! 

Ia dan semua anggota rumahnya dites PCR, hasilnya anak lanang, anak perempuan dan teman saya itu, positif.

Jadi satu benang merah yang saya tarik dari pengalaman teman saya itu adalah sudah booster belum tentu bebas corona! Ingat, ya.

Lalu apa bedanya dong, divaksin dan nggak divaksin kalau sama-sama kena. Sudah capek-capek, repot-repot, sakit-sakit divaksin, kena juga, mending divaksin alami sama virus saja?

Tidak begitu. Kalau saya amati, mereka yang sudah divaksin dan tetap terkena biasanya gejalanya lumrah. 

Seperti teman Iran saya dan keluarganya. Seperti flu biasa, agak ringan. Nggak kayak di TV yang memperlihatkan tergantung dengan galon oksigen dan tergeletak tak berdaya. Jadi tetap ada manfaatnya, kok kalau divaksin. 

Makanya, yang belum divaksin, segeralah! Jangan merasa sakti mandraguna dulu.  Corona bukan hoax.

Catatan bahwa sudah tiga kali vaksin alias booster artinya bukan berarti bebas corona, saya pegang betul. 

Makanya ketika anak pertama dan kedua kami kena corona, saya sudah wanti-wanti ke suami untuk menjaga protokol kesehatan

Tapi dasar keluarga kami suka adat peluk cium, kena juga, nih. Suami saya yang sudah booster akhirnya harus tergeletak dua minggu di tempat tidur, saya ngungsi di kamar komputer tidur di sofa. 

Sebenarnya suami hanya kepala pusing saja tapi seperti gempa bumi. Orang Jerman bilang "Man Grippe", istilah bagi laki-laki Jerman yang kalau sakit sedikit saja sudah seperti kebakaran jenggot. 

Beda dengan perempuan Jerman yang lebih tegar, katanya. Entah benar atau tidak, tapi saya sudah membuktikannya hahahahhaha.

Serumah Kena Corona, Masih ada yang Selamat, Lho

Masak sih, kalau serumah kena, ada yang selamat. Misalnya anggota keluarganya ada 5 orang, ada 1-2 yang Selamat?

Bisa saja terjadi. Swear!

Misalnya seorang tetangga di gang bawah, memiliki tiga orang anak berusia 7-15 tahun. 

Ketika salah satu anaknya terpapar corona dari sekolah dan kembali ke rumah, menularkan kepada anggota keluarganya. 

Setelah dites PCR, ada bapak dan anak bungsu yang negatif. Artinya hanya 3 orang yang positif walau serumah.

Itu serupa dengan kejadian teman Iran saya tadi. Satu-satunya yang selamat adalah suaminya. 

Kata suaminya, "Aku minum banyak vitamin, tubuhku sehat, kuat dan fit. Virus mental." Teman saya cemberut. Bukankah mereka tidur seranjang?

Saya ngakak. Bisa dinalar juga, karena namanya virus dan teman-temannya biasa menyerang tubuh yang lemah. 

Kalau tubuhnya sehat, pasti nggak mudah kena,  bisa karate atau salto, tentu saja selain memperhatikan protokol kesehatan dengan baik dan benar.

Hal yang sama terjadi di rumah kami. Dari awal saya sudah curiga anak kedua yang pilek akan terpapar. 

Selain di sekolah sedang marak penularan corona dari satu anak ke anak yang lain, dengan kondisi yang lemah, virus Covid-19 akan mudah masuk. Dan benarlah. Anak kami setelah dites resmi di lembaga yang ditunjuk, alhasil positif. Akhirnya semua dites PCR, semua positif, kecuali saya.

Segera saya persiapkan masing-masing kamar untuk karantina. Kewajiban memakai masker di dalam rumah kecuali di kamar, saya berlakukan. Pokoknya saya galak banget. Takut dan nggak nyaman kalau saya juga kena karena selain kerja, saya kuliah dan kalau sakit, nggak ada yang urus rumah dan keluarga. Repot! Walaupun saya sudah booster, saya tahu, pasti bisa kena kalau lengah.

Yang sudah terkena Corona Namanya Genesen alias "Geboostert"

Bagaimana kelanjutannya kalau ada yang terpapar? Kapan boleh bisa kembali beraktivitas dengan normal?

Sehari setelah tes PCR keluar, wali kota setempat menelpon. Beliau mengucapkan semoga anak-anak dan suami lekas sembuh dan mengingatkan bahwa tes gratis akan dilakukan seminggu kemudian di balai kota. Ih, baik banget. 

Memang selain mengucapkan selamat ulang tahun kepada warga yang melampaui usia 70 tahun ke atas, beliau juga perhatian pada pasien corona. 

Maklum, daerah yang beliau pimpin akhir-akhir ini banyak total pasiennya. Padahal dulu paling banter 2-5 orang saja.  Ada apa dengan daerahnya? Bukankah daerah kami alami, sehat dan bebas polusi?

Benarlah, seminggu kemudian, anak-anak dites, hasilnya negatif. Mereka diberikan surat keterangan bebas corona dari balai kota untuk diberikan kepada kepala sekolah dan diizinkan kembali menimba ilmu. Alhamdulillah, bebas. 

Hanya saja butuh dua minggu bagi suami saya. Mungkin karena sistem kekebalannya kurang bagus dibanding anak-anak. Jadinya lebih lama.

Oh, ya, di Jerman, orang yang sudah pernah terpapar akan mendapatkan sertifikat "geboostert" secara alami yang berlaku selama 3 bulan dari klinik dokter kampung setempat. 

Hasilnya bisa dimasukkan ke aplikasi di HP karena ada QR Code-nya. Ini saya bilang praktis karena kalau dibutuhkan saat ke restoran atau tempat pertemuan massal, tinggal buka HP dan ditunjukkan, selesai. Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah diatur seperti itu?

***

Dari cerita sederhana dalam kehidupan kami di Jerman ini, semoga bisa diambil pelajaran  bahwa corona masih mengintai di mana saja, kapan saja, dan terhadap siapa saja. 

Walaupun sudah divaksin tiga kali alias booster, tetap bisa kena. Hanya saja gejalanya lebih ringan, nggak heboh amat.

Untuk itu, mari tetap menjaga jarak, memakai masker dan menjaga kebersihan tangan khususnya.

Jangan mentang-mentang divaksin sudah berani banget buka masker di tempat umum.

Etapi, susah juga ya. Sebenarnya nggak mau buka masker, tapi kalau makan dan minum harus buka, iya, kaaaan? Wkwkw, kena deh! (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun