Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Donald Duck Berhati "Princess"

1 Februari 2022   18:46 Diperbarui: 1 Februari 2022   18:50 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donald Duck yang baik hati (dok.Gana)

Hari itu satu hari sebelum aku kembali ke Jerman, meninggalkan tanah tumpah darah yang selalu kurindu.

Aku pikir, aku harus memanfaatkan sehari untuk menuntaskan rindu akan kehangatan Indonesia. 

Pagi-pagi benar aku sudah menyapu latar depan rumah, bersama ibu. Kami berlomba-lomba mengusir dedaunan yang gugur di sepanjang paving. Tak berapa lama aku selfie, untuk mengenang, aku pernah menyapu bersama ibu, hal yang tak kan pernah terjadi di Jerman. 

Acara menyapu kelar, aku mandi. Dinginnya air PAM yang mengguyur badanku membuat  tubuh jingkrak-jingkrak. Ya, ampun, aku sudah manja dari hotel karantina 10 hari dan kehidupan di Jerman yang dingin di mana air hangat murah meriah dari mesin berbahan bakar matahari. Semoga aku nggak meriang, lirihku.

Aku sudah siap dengan ransel hitam. Sengaja nggak pake ransel pink karena lebih besar, isinya banyak. Aku bawa ubarampe untuk backpackeran hari itu. Semua masuk. Pamitan sama ibu yang memandangku sambil berkata "Pergi lagi?"

Memang aku ini manusia yang nggak punya lem di kaki. Kalau nganggur sebentar saja nggak bisa, harus jalan. Padahal lima hari sebelumnya sudah liburan dengan ibu dan adik, menjenguk kakak dan buyut yang baru lahir. Aku pikir, daripada nonton TV, lebih baik aku jalan-jalan.

Naik grab, aku menuju Sukun. Si pengemudi bilang aku sebaiknya ke terminal. Sampai sana, nggak ada bus. Tuh, kan balik lagi ke Sukun. Dibilangin nggak percaya, walau aku lama di Jerman, tahu betul bus biasa nongkrong di sana ketimbang di terminal. Aneh!

Bus Yogya. Aku masuk di kotak panjang ber-AC. Iya, patas, supaya cepat. Nggak papa mahalan dikit karena hariku nggak panjang di Indonesia. Harus efektif dan efisien. Duit bisa dicari, hari nggak bisa dibeli.

Membayar 70 ribu. Ah, mahal amat, bukankah aku mau ke Ambarawa, menjenguk Baruklinting di Rawa Pening? Arghhh, protes kondektur, uangku kembali. Limapuluhribu aja, duapuluh ribu kembali.

Selama perjalanan aku tertidur. Kondektur membangunkan dengan suaranya yang lantang, "Rawa Pening." Hm, rupanya, sudah sampai. Aku kemasi tas dan jajanan yang tadi kubeli dalam bus.

Ia menunjuk arah sebuah pertigaan, supaya aku turun dan menunggu di sana untuk sampai di tujuan.

Tidak ada siapa-siapa di jalanan itu, hanya motor dan mobil yang berseliweran dan nggak bisa kukejar. 

Kulihat Donald Duck di lampu merah. Aku bisa tanya dia, bukan. Kudekati tubuhnya yang tambun, kemejanya biru, berdasi. Argh. Aku kasihan juga melihat ia lari ke sana- ke mari menadahi receh yang diberikan para pengendara yang berhenti saat lampu merah. Tapi inilah hidup, kadang kejam sekali hanya demi sesuap nasi.

"Mas, kalau mau ke Rawa Pening ke mana, ya?" Tanya saya sembari menggamit kamera yang tadi keluar dari wadahnya, demi mengambil gambar gunung di seberang sana. Nggak tahu kenapa aku gender banget, tahu sekali kalau yang ada di balik kostum adalah seorang pria. 

Aduh, pasti panas dan gerah sekali memakainya. Aku nggak tega melihatnya. Dengan kaos tipis dan rok yang bisa silir dari segala arah saja, aku kepanasan. Iya, sampai gosong. 

Hari itu memang masih pagi tapi matahari sangatlah terik. Maklum, Indonesia ada di garis ekuator. Satu hal yang patut disyukuri, membuat orang jadi selalu ceria dan nggak kurang vitamin D.

Ia menunjuk arah depan untuk kampung Rawa dan ke arah belakang untuk bukit Cinta, "Rawa Pening." Katanya, aku harus ikut angkota gede yang bakal lewat dalam hitungan menit. Tapi dasar, aku nggak awas, kelewatan. Namanya juga sedang asyik motret pemandangan yang indah di sana-sini.

Aku pun menunggu. Si Donald ikutan bingung karena angkota nggak lewat juga dan aku nggak berangkat juga. Ia pun mendekatiku, mengatakan jangan sampai ketinggalan angkota berikutnya. "Sebentar lagi datang." Tangannya bergerak-gerak menunjuk arah bukit Cinta. Aku mengacungkan jempol tanda mengerti. 

Dengan keriuhan lalu lintas jalan, pasti suaraku nggak terdengar karena kami sudah agak jauh. Untung tadi aku telah masukkan receh ke tempat sampah plastik yang jadi penadah rejekinya. Sedikit rasa terima kasih menjadi guide dadakan hari yang akhirnya tiba-tiba mendung tiga jam setelahnya.

Aku sudah ada di seberang Donald Duck. Wow, betul. Tak berapa lama, angkota kedua datang. Aku segera berlari, naik kendaraan besar itu.

Terima kasih, Donald Duck. Kamu baik, semoga nasibmu, sebaik karaktermu. Aku belajar darimu, menjadi orang baik bisa  dengan siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Jumpa lagi. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun