Dalam pelajaran agama, saya pernah mendengar cerita guru bahwa jika ada orang tua meninggal, anak tidak harus membayar utang orang tuanya. Kecuali, jika si anak ikhlas membayarnya atas dasar ingin berbakti dan memiliki harta berlebih sehingga mampu untuk membayarnya. Itu juga dikatakan menghapuskan dosa orang tua.
Saya setuju dengan prinsip berbakti tersebut bahwa setiap anak sebaiknya memakmurkan orang tuanya jika mampu dan ikhlas, bukan sebaliknya. Kata orang Jawa; mikul duwur, mendem jero. Harumkan nama orang tua, tutupi kekurangannya atau kelemahannya.
Seorang teman dekat saya di sebuah kota bercerita bahwa ibunya meninggal di desa tempat ia dilahirkan. Karena beliau tinggal seorang diri, rumah akan kosong seumur hidup. Teman saya segera mencari tahu di mana sertifikat rumah yang ditinggali sang ibu. Setelah ditelusuri, sertifikat ada di bank. Mengapa?
Ceritanya, suatu hari si ibu didatangi tetangga yang menangis. Tetangga butuh uang dan untuk itu ia memohon apakah ibu teman saya itu mau meminjami sertifikat rumah untuk dijadikan agunan di bank.
Namanya juga orang Indonesia, yang rata-rata terlalu baik hati, terlalu percaya dan tidak memiliki catatan hitam di atas putih, si ibu merelakan sertifikatnya pindah tangan. Karena marah dan bingung, teman saya itu datang ke bank yang bersangkutan. Untuk mendapatkan sertifikat kembali ke keluarganya, teman saya itu harus menebus.
Mengapa bukan yang berhutang si tetangga tadi yang melunasi hutang bank dan sertifikat dikembalikan? Ruwet, orang kalau sudah hutang lupa bayar. Sudah tradisi. Hidup lebih besar pasak daripada tiang.
Anak hutang, orang tua peyang
Bagaimana jika anaknya yang bangkrut dan hutang? Apakah orang tuanya wajib membayar?
Jawaban dalam realita kehidupan di negeri tercinta Indonesia adalah IYA.
Ini terjadi dalam keluarga kami baru-baru ini. Ketika pulang kampung tiga minggu lalu, saya mendapati bahwa rumah ibu saya disita sebuah bank BPR. Untuk mendapatkan kembali rumah tersebut, ibu harus membayar hutang pokok salah satu saudara saya yang hilang entah ke mana.
Lho, lho, yang hutang anaknya kok, yang bayar ibunya? Saya bingung. Ini negara mana, sih?
Bank tersebut melayangkan sebuah surat kepada ibu, yang memberitahukan bahwa jika saudara saya tidak melunasi dalam tempo yang ditentukan, yakni akhir Januari ini, rumah akan dilelang. Rumah sudah ditempeli peringatan dari bank.
Hallo!!! Rumah itu atas nama ibu saya, yang selama 25 tahun mencicil kredit rumah untuk para guru zaman bahula itu. Kok, nggak ada perasaan sekali bank itu. Memang nggak ada hukum di Indonesia? Yang salah harus dihukum, bukankah ibu saya tidak salah? Ibu saya janda, tidak punya banyak uang.
Uang pensiun hanya cukup untuk hidup sebulan. Uang dari mana???? Harusnya beliau menikmati indahnya hidup di masa lansia karena semua sudah dilalui, anak-anak sudah dewasa dan mandiri. Ini malah kebalikannya. Masyaallah. Sungguh tidak adil yang terjadi dalam kehidupan ibu saya.
Kalau tidak salah, memang ketika saudara saya berhutang, ada catatan bahwa almarhum bapak dan ibu menandatangani pengambilan hutang dengan agunan rumah tersebut. Tetapi bukankah itu tidak serta-merta menjadi acuan kalau hutang tidak dibayar, ibu saya yang harus membayar hutang pokok anak?
Ngerinya Indonesia. Sudah banyak rakyat menderita, aturan negaranya tidak berpihak pada rakyat golongan ekonomi lemah. Mereka berhak menikmati hidup layak, aman dan nyaman.
Berharap Aturan Bank Diubah
Baiklah. Jawaban pertanyaan dalam judul di atas itu saya dapatkan dalam sebuah rekaman Trans TV (Islam itu indah).
Seorang ustazah memberikan informasi bahwa banyak orang yang suka hutang. Ini menjadi kebiasaan sehari-hari, sebab mereka berprinsip berhutang bukan karena kebutuhan melainkan keinginan.
Tak heran jika hubungan persaudaraan, pertemanan, kekeluargaan jadi rusak karenanya. Lah iya, orang hutang nggak dibayar, sebel kan. Eneg. Untuk itu, ia menyarankan agar jika memberi hutang dan berhutang harus dicatat supaya tidak lupa. C-a-t-a-t! Sebab, biasanya orang akan lupa jika sudah berhutang dan giliran membayar tidak dilunasi. Ini merepotkan orang lain. Orang yang memberikan hutang akan kebingungan karena uangnya atau barangnya tidak kembali. Catatan menjadi peringatan, membantu otak dan bukti.
Rukun hutang dikatakan perempuan berhijab itu ada tiga: yang berhutang, yang memberi hutang dan barang atau uang yang dihutangkan. Lalu, syarat untuk berhutang ada dua; berakal dan telah dewasa. Dari situ bisa ditarik kesimpulan, hutang anak kecil masih bisa dibayar orang tuanya. Contoh, anak kecil yang memanggil tukang es lewat, mamanya yang harus bayar karena anak tidak memenuhi syarat berhutang.
Pertanyaan saya adalah, mengapa bank di tanah air tidak menganut logika itu? Bahwa jika seorang anak yang berakal dan dewasa, berhutang jutaan bahkan milyaran rupiah, dia yang harus bertanggung jawab, bukan orang tuanya. Bukankah negara kita ini negara hukum? Apakah boleh setiap bank seenaknya sendiri memutuskan ini dan itu?
Di Singapura, ada ketentuan bahwa jika ada orang tua yang telah menghadiahkan rumahnya pada seorang anaknya, ia tetap boleh tinggal di dalam rumah sampai meninggal. Ini menjaga agar orang tua yang tadinya punya rumah lalu tidak punya rumah, menjadi gelandangan di jalan. Entah itu dibuang oleh si anak atau keinginan sendiri. Saya melihat ada kiat dari negara untuk melindungi orang tua. Thanks to Lee Kwan Yew!
Di Jerman juga begitu. Tetangga saya yang memiliki dua anak, membalik nama rumahnya kepada anak bungsu. Anak sulung tidak diberi karena disebut-sebut durhaka. Ada aturan yang membolehkan keinginan orang tua itu untuk membalik nama kepemilikan rumah, asal dilakukan 10 tahun sebelum orang tua meninggal. Karena jika sesudah, semua anak tetap mendapatkan bagian dari warisan orang tua (bukan hanya anak kesayangan).
Nah, berhutang sendiri di Jerman juga tidak semudah di Indonesia, di mana sertifikat rumah atau tanah orang tua dijadikan jaminan di bank supaya hutang seorang anak di bank bisa cair. Tidak! Kalau mau hutang, agunan milik pribadi. Titik.
Melalui artikel uneg-uneg ini, saya mohon kepada bank-bank di tanah air dan atau bank Indonesia atau yang berkuasa menentukan aturan hutang -piutang bank, untuk memperbaiki aturan berhutang di bank seantero Indonesia. Jika seseorang berhutang, harus dengan barang atau sertifikat atas namanya sendiri, bukan atas nama orang lain. Karena namanya orang, biasanya tidak ada perjanjian tertulis hanya lesan. Jika kemudian hari diperkarakan seperti kasus keluarga kami, bagaimana coba? Pusing dan pelik. Sudah berbaik hati masih juga jatuh dan tertimpa tangga.
Terakhir, bukan bermaksud menggurui tapi lebih mengingatkan; harapan saya pada teman-teman semua, mari kita jangan sampai menyusahkan orang tua dengan hal-hal seperti tersebut di atas.
Rasanya tidak adil, jika orang tua yang telah membesarkan kita, merawat kita dari dalam kandungan hingga mampu mandiri, mencintai kita sepanjang masa, lantas mendapat balasan yang tidak semestinya. Jika berhutang, bayarlah. Jangan menggantungkan orang tua. Jangan membebani mereka secara psikis maupun materi aka hutang seperti ini.
Selamat pagi. Selamat menikmati hari Minggu. Di sini salju. (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI