Penumpukan penumpang di area pengambilan bagasi
Semua sudah beres. Senang sekali bahwa saya sudah dinyatakan bebas dari pengecekan berkas lengkap. Secepat kilat, sebuah kereta bagasi saya tarik. Bagasi harus ditemukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Takut kalau sudah ditunggu lama dari pihak hotel. Dari layar Belt 3, saya baca nomor penerbangan dari Singapura yang saya tumpangi. Ah, mengapa belum juga tiba koper merah dengan pita pink punya saya? Setelah sekian menit, koper nongol juga. Beban seberat 25 kg itu saya tarik keluar dari ban. Done!
Astaga. Tapi mata ini pedih memandang mereka yang numpuk di pengambilan bagasi. Banyak yang sudah jenuh berdiri dan memilih duduk di lantai sambil bermain handphone atau hanya bertopang dagu, memikirkan nasib yang terkatung-katung selama berjam-jam di bandara.
Berbeda dengan saat harus menunggu sekitar 2 jam di bandara Singapura, pihak maskapai menyediakan makanan dan minuman seperti teh atau kopi hangat, croissant dan cheesecake. Total ada 15 SGD untuk tiap orang, walau menu snacknya boleh milih berbeda dari etalase cafe bandara yang ditunjuk.
Saya lihat di TV, ada yang minta air saja jadi ribut. Nelangsa. Malamnya, karena belum keangkut ke wisma, mereka merebahkan diri atau tidur di ban koper yang telah berhenti.
Sebelum saya berangkat sudah tersiar kabar Wisma Kemayoran lock down berkaitan dengan ditemukannya varian omicron di sana. Barangkali itu yang menjadi masalah. Calon penghuni akan dilimpahkan ke wisma yang lain.
***
Peristiwa penumpukan penumpang ini sebenarnya tak perlu terjadi, jika pemerintah sudah menyiapkan dari awal setelah tahu Wisma Kemayoran ditutup.
Penanganan membludaknya pendatang dari luar negeri calon penghuni wisma juga kurang sigap. Makanan dan minuman yang cukup bagi mereka harusnya bisa disiapkan sesegera mungkin bekerja sama dengan restoran, cafe atau restoran bandara yang ada di Terminal.
Diaspora, BMI, ASN, Pelajar juga manusia, punya rasa lapar dan dahaga. Kesel. Capek lho, perjalanan dari luar negeri. Saya saja 24 jam dari rumah baru sampai Jakarta. Belum juga ke Semarang. Harga yang dibayar pun nggak murah, dengan proses panjang dan berbelit. Begini risikonya tinggal di luar negeri dan selalu kangen tanah kelahiran.