Ceritanya, karena ia sekolah seperti saya, ia menitipkan salah satu anaknya ke wanita yang menawarkan jasa titip anak (Tagesmutter).
Sepulang dari sana, si anak sakit dan ketika diperiksa positif corona. Sebagai orang pertama yang dekat dengan si anak, ternyata teman saya itu juga ikut terpapar.
Awalnya hilang daya rasa di lidah, lalu gejala lainnya menyusul. Katanya tidak parah, seperti flu biasa, namun tentu saja repot karena harus mengurus dua anak yang harus juga tinggal di rumah selama ia sakit, kegiatan rumah tangga, ditambah harus belajar. Hidup memang berat.
Ketika saya tanya, apakah ia ingin divaksin meskipun sudah pernah terpapar, ia menggelengkan kepala. Haha. Katanya dia sudah kebal. Benarkah?
Saya nggak tahu apakah ia punya bukti hitam di atas putih bahwa ia pernah terpapar atau tidak. Karena menurut pemerintah yang pernah terpapar, harus punya bukti dari tes lab PCR untuk membuktikan pernah terinfeksi. Dan itu bisa digunakan ketika menjadi prasyarat untuk berkumpul dengan kerumunan atau makan di resto atau pameran.
Tes tersebut minimal harus 28 hari hingga 6 bulan. Bukti bisa dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis, Italia atau Spanyol.
Keuntungan bagi mereka yang sudah pernah terinfeksi antara lain:
Pertama, boleh berbelanja, pergi ke kebun binatang, dan potong rambut tanpa tes negatif. Kumpul-kumpul tanpa batas dengan mereka yang sudah divaksin dan sudah pernah terpapar.
Jadi seperti saat saya mengundang teman-teman sekolah untuk barbecue di saat pemerintah menentukan aturan hanya boleh 10 orang yang boleh berkumpul, tamu yang sudah pernah terpapar dan sudah divaksin tidak dihitung.
Misalnya tamu saya terdiri 5 orang sudah divaksin, 5 orang sudah pernah terpapar, dan 10 orang dengan negatif tes. Artinya yang datang ke rumah saya 20 orang (tetapi 10 orang tidak dihitung). Jadi, pesta tetap boleh diselenggarakan.
Aturan yang ganti-ganti dari pemerintah setempat biasanya disesuaikan dengan berapa jumlah pasien yang terpapar setiap minggunya.