Kompasianer ada yang masih punya balita? Dititipi balita, anak saudara untuk beberapa hari? Atau menjadi baby sitter balita dadakan?
Teman-teman, saya ingin berbagi pengalaman menidurkan balita Jerman dalam 5 menit. Tapi ingat ya, bisa saja ini tidak manjur dilakukan pada balita Indonesia.
Saya pernah berbagi tentang pengalaman saya menjadi guru di taman kanak-kanak di Jerman beberapa waktu yang lalu. Perlu diketahui bahwa pekerjaan sebagai guru di TK itu tidak sesederhana yang pernah saya alami di Indonesia. Di sana, pengalaman 5 tahun mengajar bahasa Inggris di taman kanak-kanak sangat berbeda. Peran saya lebih pada mendidik supaya anak-anak mahir menguasai kosakata sederhana bahasa Jerman dan menyanyi lagu berbahasa Inggris. Sedangkan di Jerman ini, tugas saya adalah mendidik, merawat, menyayangi dan memenuhi semua kebutuhan sehari-hari. Jam kerjanya pun 8 jam bukan hanya 1-2 jam seperti pengalaman sebelumnya di tanah air. Jadi, salah satu tugasnya adalah mengirim anak ke tempat tidur khusus.
Oh, ya. Di kelas sebelumnya, saya tidak diizinkan untuk menidurkan anak-anak karena begitu sekali menidurkan anak-anak, banyak anak-anak yang akhirnya hanya mau sama saya tidurnya. Saya orangnya nggak galak, ibu peri. Haha. Memang saya hanya bekerja dua hari seminggu. Jika saya sekolah dan tidak berada di kelas, bagaimana anak-anak yang harus mulai tidur dari pukul 11.30 - 13.45 itu tidur ? Yang dicari tidak ada, bukan? Mereka bergantung pada saya. Kalau diterusin, berabe. Artinya, mereka tidak mau ditidurkan guru lain. Jadi dibiasakan supaya mereka tidur tidak dengan saya. Never.
Sejak Januari saya pindah kelas. Di sana, saya ditugasi menidurkan anak-anak balita. Sebabnya, guru kelas lain mendapat anak baru yang harus selalu dekat dengan mereka, termasuk saat mau tidur. Jadi tidak bisa menidurkan anak lain yang sudah lama di taman kanak-kanak. Karena saya orang baru, pertama, saya harus mengamati dulu. Tak kenal memang tak sayang. Sebagai guru, saya harus tahu perilaku masing-masing anak termasuk kebiasaannya. "Jedes Kind ist anders" kata orang Jerman atau setiap anak itu dilahirkan berbeda. Mereka yang pribadi unik itu harus kita pahami. Untuk memahaminya butuh waktu, betul?
Liana misalnya. Gadis cilik 1 tahun itu sangat hiperaktif. Bayangkan saja, kalau makan; mukanya jadi seperti dakocan, makannya nyebar di lantai seperti dicakar ayam, jika duduk tidak dengan bantal penyekat maka ia akan naik ke meja.
Makanya, untuk menidurkannya harus punya cara; ia harus telungkup. Mulutnya harus ditutup dengan kempong alias Snulli. Satu tangan saya memegang pantatnya supaya tidak bergerak nungging sana-sini, satu tangan saya mengelus-elus kepalanya.
Mengelus kepala ini merupakan tip salah satu teman SMP saya yang waktu itu ibunya hamil lagi. Walhasil, dia punya adik masih bayi, bukan. Saat membantu ibu menidurkan adik, ia diajari untuk mengelus anak rambutnya di bagian dahi, hingga tertidur lelap. Pasti karena kepala ini banyak syaraf otak. Otak adalah seperti CPU pada tubuh.
Untuk Liana ini, saya elus lembut di bagian otak depan dan belakang, lalu di bagian punggung. Gerakannya bisa memutar seperti gasing atau sekedar mengelus biasa. Kalau perlu lakukan pula di bagian alis. Perhatikan matanya, ia akan membuka tutup mata seperti nyiur melambai. Tandanya, ia akan segera tertidur. Jika dirasa sudah cukup dalam tidurnya, saya ingat ada alat pijat yang seperti garpu tarantula. Karena nggak ada alatnya, saya pakai jari-jemari. Mulai dari ubun-ubun, jari saya merekah. Saya ulangi berkali-kali.
Si Liana berhasil terlelap hanya dalam 5 menit. Secara berkala, saya amati lagi. Jam di tangan selalu saya lirik untuk memastikan apakah durasi waktunya sama. Tunggu sekian detik untuk tahu apakah ia akan kaget karena saya tidak lagi membelainya. Jika tidak ada gerakan apapun, saya biasanya langsung meninggalkan kamar atau menuju anak balita lain yang belum tertidur.
Aih. Teman-teman guru lain terkesima. Kok, bisa ya 5 menit? Saya dulu pernah jadi penyiar, kata orang saya juga penari dan penulis tapi saya bukan penyihir. Alasannya saya ceritakan kalau saya punya anak tiga. Sekarang sudah pada ABG. Jadi mungkin saya ada sedikit pengalaman lebih dari guru yang belum pernah menikah dan atau belum pernah punya anak. Walaupun mereka adalah anak-anak orang Jerman, saya rasa, sentuhan kasih sayang itu sama bagi setiap anak di dunia ini. Nggak percaya? Buktikan sendiri.
Sekarang, Kompasianer ingin mencoba tip ini? Good luck. Jika balita masih belum juga tidur, jangan hubungi saya. Hahaha (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H