Menjadi diaspora yang tinggal di Jerman lebih dari 10 tahun, tetap ada satu keinginan "Anak-anak harus mengunjungi Borobudur, harus, meski hanya sekali!"
Mereka besar di Jerman tapi tetap saja ada darah Indonesianya, jadi bagaimanapun, harus mengenal peninggalan sejarah bangsa yang adi luhung dan pernah masuk 7 keajaiban dunia; Borobudur!
Walaupun jaraknya sangat jauh dari Jerman, meskipun harga tiket orang asing untuk masuk ke candi terhitung mahal (@Rp 250.000-Rp 350.000), saya pikir, kalau nggak sekarang datang, kapan lagi? Teman-teman di luar negeri yang anak-anaknya belum ke sana, mari diajak.
Itulah sebabnya, meski 4 anggota keluarga saya ngotot ingin pergi ke Amerika, negara yang belum pernah kami kunjungi, pada akhirnya, kami sepakat berlibur ke Indonesia juga musim panas itu. Dan Borobudur menjadi salah satu pilihan selain Semarang, Bali, Yogyakarta, Solo, Labuan Bajo dan pulau Rinca.
Sebagai orang Indonesia, yang lahir dan besar di tanah tumpah darah, kunjungan ke Borobudur adalah salah satu menu tamasya langganan. Meskipun demikian, saya tidak pernah bosan untuk datang lagi dan lagi ke sana, serta memperkenalkannya pada orang-orang terdekat saya.
Mengapa? Karena saya masih menganggap Borobudur ini ajaib, luar biasa dan harus dilestarikan. Jadinya, mari kabarkan pada dunia!
Betapa tidak, bayangkan bagaimana pada abad 7 Masehi, wangsa Syailendra bisa membangun candi 10 tingkat, dengan relief yang menakjubkan? Zaman yang pasti belum serba digital dan canggih seperti sekarang. Semua masih dengan tangan. Ajaib!
Keajaiban lain adalah siapa saja yang sudah singgah ke situs yang diakui UNESCO sebagai heritage kita ini? Mulai dari Charlie Caplin, David Beckham, Mark Zuckerberg, sampai Barack Obama menyempatkan waktu berkunjung. Magnet pesona candi Budha terbesar sedunia itu pasti bukan sembarangan. Ini sungguh luar biasa. Masak, orang Indonesia dan keturunannya sendiri malah kalah dengan mereka? Jangan sampai.
Borobudur, kami amati alat musik dunia di dindingmu
Kesannya dari zaman kanak-kanak, kalau ke Borobudur pasti panas, saya butuh payung. Tiba di Borobudur, saya sudah siap mengembangkan payung lipat dari dalam tas yang selalu setia menemani perjalanan keliling Indonesia.
Andai saya melakukan ini di Jerman, banyak orang Jerman yang nyengir sambil nyeletuk "Tidak hujan, kok payungan." Bangsa Aria ini tidak tahu bahwa payung di negeri kita memiliki dua fungsi untuk melindungi diri dari panas dan hujan.