Jadi, kota ini ada di daerah Jerman Selatan, perbatasan Jerman dengan Swiss. Makanya jika naik pesawat dari Indonesia, lebih dekat turun di Swiss.
Kembali ke jalan setapak paskah. Mata kami mulai gerilya. Para peserta yang mendekorasi jalan berasal dari beragam toko dan perusahaan. Ada yang dari salon, toko HP, pabrik kayu, individu dan lainnya. Mereka ini berkreasi menghiasi jalanan dengan ide masing-masing.
Dari rumah memang tidak jauh, hanya 10-15 menit. Begitu tiba di sana, kaget, karena hari yang terik membuat banyak orang berdatangan. Mobil berjajaran seperti ada orang sunatan. Lahhh, nggak ada corona?
Saya hendak memakai masker, tapi ternyata tak ada satu orangpun yang memakai di tempat terbuka yang dekat dengan hutan itu. Ya, sudah, kami harus menjaga jarak.
Kami memilih berjalan di atas rumput ketika berpapasan dengan banyak orang, lalu kembali ke jalan setapak saat tidak banyak orang.
Satu demi satu hiasan kami amati. Ih, lucu, seru. Pokoknya memandanginya seperti terlupa akan corona dan berfantasi bersama suasana paskah.
Betul, jalan-jalan sendiri sudah menjadi tradisi nenek moyang orang Jerman. Menurut sejarah, selama masa perang PD I dan II mereka ini banyak berjalan kaki karena pindah-pindah mencari tempat yang aman. Tidak hanya di dalam negeri tapi juga jalan kaki sampai luar negeri.
Nah, saat memperingati paskah, ini juga menjadi tradisi masyarakat Jerman yang mayoritas beragama Katolik Roma. Jalan-jalan di tempat terbuka dan diakhiri dengan acara mencari telur, misalnya. Jalan-jalan juga bagus untuk kesehatan.
Acara ini juga sebagai rasa terima kasih bangsa Eropa Barat yang terkenal dengan produksi Mercedesnya, karena musim semi telah tiba, matahari kadang menyengat hangat.
Maklum, musim dingin di mana salju bisa saja berjatuhan, hawa yang minus, hewan-hewan tertidur dan tanaman pada mati, tentu merupakan pemandangan yang lain. Manusia memang harus pandai bersyukur, supaya ada kenikmatan yang terasa.