Mata perempuan dari Kazakhstan itu saya tatap lekat-lekat ketika ia mengatakan: "Kamu boleh membawa semua yang ada di meja untuk dibawa ke rumah. Besok saya masak Pfankuchen dan pasti nggak ada yang mau makan makanan sisa kemarin (Tortelini saos tomat) dan hari ini (nasi goreng campur ayam)."
Begitulah, makanan yang sudah dua hari di kulkas taman kanak-kanak, harus dibuang ke sampah. Itu peraturan dari dinas kesehatan yang selalu mengontrol makanan sehat yang dikonsumsi 60 anak yang dititipkan kepada kami.
Dan koki baik itu tahu sekali, bahwa saya datang dari negara yang masih berkembang, di mana garis kemiskinan masih menjadi momok yang menyeramkan. Saya bilang, lebih baik dikasih orang yang membutuhkan daripada memenuhi tong sampah.
Ngomong-ngomong, tahukah kalian, kembali ke Indonesia untuk berkunjung selama 2 hingga 4 minggu itu selalu sesuatu. Hanya saja, hati serasa diiris begitu melihat kenyataan, masih banyak orang yang kekurangan. Untuk makan saja susah, masih saja urusan perut yang memusingkan kepala. Hal itu sangat jarang saya temui di Jerman. Orang miskin di tempat saya merantau; masih punya rumah, mobil dan makanan.
Pengungsi dari negara perang saja hidupnya bisa "mewah" untuk ukuran orang Indonesia atau "standar" untuk ukuran Jerman. Semua tercukupi; sandang, pangan, papan. Jika ada gembel di kota-kota besar, itu salahnya sendiri karena tidak memenuhi peraturan yang dibuat pemerintah. Semua sudah diatur di sana, semua sudah disiapkan, tinggal mengikuti jalurnya saja. Sedangkan di negara kita? Mungkin harus mengharap sampai masa itu tiba. Ngimpi.
Itulah sebab, saya sudah beberapa kali mengutarakan keinginan saya untuk membagikan sisa makanan ke tetangga saya. Ini diamini pimpinan, teman-teman dan koki. Tetangga? Mereka adalah pasangan cowboy yang memiliki peternakan kecil. Di sana ada serigala kecil, ayam, kelinci, kuda dan bebek. Makanan itu bisa disediakan untuk bahan pangan hewan. Dibuang sayang kalau hanya memenuhi sampah bio yang akan membusuk dimakan singgat.
Kandang di seberang rumah kami yang notabene milik mereka itu begitu indah menampilkan hewan-hewan yang dilepas di musim panas. Antrian anak-anak kecil untuk melihat mereka, tak ubahnya tempat wisata kebun binatang dadakan yang gratis.
Mengapa? Mengapa saya suka membagikan makanan pada pasangan itu.
Pertama karena biasanya ketika tinggal di Indonesia, orang yang biasa saya antar makanan adalah orang tua kandung. Saya di Jerman, orang tua saya di Indonesia, nggak bisa kan? Makanya, kami pikir, dengan mengantar makanan ke mereka, seolah mengirim makanan ke orang tua saya. Saya yakin, dengan membagi rejeki ke mereka, banyak orang yang akan membagi rejeki pada orang tua saya.
Kedua, karena si bapak suka membantu merapikan tong sampah yang diangkut truk, membersihkan debu di jalanan sekitar rumah kami, membantu pekerjaan renovasi sekali-sekali dan tutur katanya manis sekali. Hal seperti itu saya kira hal yang luar biasa di Jerman. Di Indonesia mah biasa. Pengiriman makanan sebagai tanda terima kasih dan kasih sayang kami pada pemeluk "Jehova", aliran agama yang mirip Kristen tapi beda tipis.
Apakah saya mengharap bahwa mereka akan membalas apa yang kami lakukan? Tidak. Padahal makanan yang saya antar tidak hanya sisa dari TK. Jika saya masak banyak, khususnya masakan Indonesia akan segera saya bagi hangat-hangat. Sama saja dengan kue yang saya panggang. Seloyang, akan saya bagi 1/4 untuk mereka berdua.
Namun saya yakin, kalau kita jadi orang baik, ada kebaikan yang akan menemui kita. Setidaknya kemarin, di mana dik Mira Habibah, sekretaris komunitas Warga Kota mengirimkan 500 gram alpukat untuk ibu saya. Masyaallah ... baik sekali. Padahal ketemu sama gadis itu juga baru di zoom, dunia maya!
Ah, kebaikan dik Mira tak hanya sekedar mengirim pada ibu saya, tapi juga pakai gratis-tis. Ya Allah, dik, semoga Allah memberikan rejeki bagimu. Apa yang hilang semoga akan diganti dengan lebih banyak lagi. Tidak pernah ada yang sia-sia untuk sesuatu yang baik dan tulus. Terima kasih banyak.
Perempuan berjilbab yang sudah ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka itu juga menekankan pada saya tentang bagaimana indahnya berbagi dengan orang tua. Jika ia tidak bisa membahagiakan orang tuanya sekarang ini karena mereka sudah tiada, ia bisa membantu saya menyenangkan ibu. Malaikat kecil, semoga ini adalah timbangan pahalamu.
Mungkin budaya mengirim makanan pada orang tua atau tetangga, tidak lazim di Jerman. Namun, saya ingin bahwa ini menjadi role model anak-anak kami. "Apa yang kamu makan, jangan dilahap sendiri. Bagikan pada orang terdekat, supaya kebaikan-kebaikan lain akan terus berlanjut dalam hidup. Karena ketika kamu mati, apapun yang kamu punya tidak ada gunanya. Manfaatkan semua yang ada selama nafas masih berhembus."
Selamat berakhir pekan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H