Malem, Dy.
Aku mau curhat soal durian, dong. Iya, buah yang kulitnya berduri tapi isinya lembut dan berasa di surga kalau sudah melahapnya.
Kamu tahu kan durian kesukaanku, Dy? Betuuul ... durian Montong!
Aku ingat banget rekor makan 3 durian seumur-umur. Waktu itu kami merayakan dipecahkannya rekor nasi tumpeng akbar berapa meter, lupa, di Simpang Lima yang digagas radio Jatayu. Aku kan salah satu penyiarnya, jadi mendukung acara. Begitu MURI menyatakan bahwa acara sukses, kami pun pesta.
Ketua panitia, mas Didik yang sekarang jadi anggota DPRD Jateng, mentraktir kami durian. Dia borong durian di sebuah sudut lalu diangkut ke kantor. Yang kuat makan dipersilakan makan. Yaaa, namanya gratisan, kalap banget, Dy. Aku makan sampai tiga! Untung nggak sampai muntah atau mabuk.
Sungguh kesempatan 1001! Sampai sekarang nggak hilang acara balap makan duren di lantai XI Plasa Simpang Lima Semarang itu. Lantai penuh hantu. Ngeri-ngeri sedap pengalaman bekerja 7 tahun di sana lalu pindah ke lantai 8 di radio yang lain sampai 4 tahun.
Durian, oh durian. Dy, tahu kan aku sudah lama pindah ke Jerman. Mana ada musim durian, kayak di Semarang? Mana ada yang jualan durian di pinggir jalan? Nggak ada, kan? Paling banter kudu beli durian yang sudah beku. Entah yang masih ada kulitnya atau yang sudah dikupas biasanya dijual di toko Asia. Harganya nggak usah tanya, kamu pasti salto. Satu kg dulu pernah ada di kisaran 8 euro per kilo atau Rp 100 K. Sekarang ini sudah naik 1 kg 11 euro atau Rp 180 K.
Nah, Sabtu kemarin nggak ada zoom, kami ke Boeblingen deket Stuttgart. Di sana ada supermarket Asia. Ke sana bisa bahaya, karena borong bahan makanan Asia. Iya, bener,sampai habis 185 euro atau 3 jutaan rupiah. Padahal Cuma beli 13 batang tempe beku, 1 kg belut beku, 2 kg pare beku, 13 bungkus bumbu rendang, 2 bungkus kacang telor, 5 bungkus bumbu gule, jus lidah buaya, beras melati 5 kg dan ... durian! Karena mahal, makanan ala Indonesia ini tidak setiap hari bisa dinikmati.
Makanya di rumah ada satu gelondong durian 3 kg harga hampir 600 ribu rupiah di teras, mumpung hawa di luar dingin sedingin kulkas. Senang duriannya nggak rusak. Oktober lalu beli durian, setelah dibelah isinya ulat gedeee banget. Hiyyy .... Ketika kami protes ke penjual, dia bilang nggak bisa berbuat apa-apa. Yang salah ulatnya ngumpet di dalam durian jadi bukan dari tokonya. Salah kami juga, nggak awas kalau kulit durian ada bolongnya. Akhirnya, si penjual berbaik hati memberikan kami hadiah sebotol sambal. Yuhuuu, lumayan.
Yang ini enak rasanya, legit. Nggak kayak yang kami beli di Villingen dari toko orang India. Duriannya bukan durian montong tapi apa gitu lupa. Kulitnya masih hijau. Aku sudah pesan suami nggak jadi saja belinya karena mungkin belum matang tapi suami ngotot. Katanya supaya aku happy makan durian. Eaaaa... Betul, deh, sampai di rumah ditunggu sampai temperatur ruangan membuatnya nggak beku, dimakan rasanya kurang lezat.
Cara membelah durian sudah diajarin sama si Juli teman dari Bali yang tinggal 40 menit dari rumah kami. Kalau belum ada belahannya, durian dilempar lalu diinjek sampai ada belahan untuk dibuka dengan pisau. Suami pun praktek ... Baaaaa ... duriannya nongol.
Heran juga, suamiku mau makan durian. Padahal durian adalah buah yang dianggap busuk oleh mayoritas orang Jerman atau disebut Stink Frucht. Katanya baunya seperti ek-ek bayi atau bau muntah. Hueekkk.
Huh, mereka belum tahu rasanya. Kalau sudah diguna-guna kayak suamiku, pasti mereka ketagihan makan durian.
Udah, ya Dy, duriannya sudah terbelah. Waktunya makan. Guten Appetit. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H