Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Badai Salju

15 Januari 2021   01:37 Diperbarui: 15 Januari 2021   01:45 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badai salju ada di sini.... (dok.Gana)

Dy ... kamu tahu hari ini hari apa? Hari Kamis, hari kedua per minggu untuk bekerja di taman kanak-kanak. Sekarang ini, semangat jadi dobel karena aku dipindah di kelas Kurcaci. Dulu aku di kelas Lonceng. Di kelas yang baru ini, tantangannya adalah harus mengenal 7 anak baru dari jumlah 9. Dua anak sudah aku kenal saat di kelas yang lama. Mereka pernah gabung kelas kami. Ugh. Alamat sebulan kerja keras mendekati satu demi satu anak-anak yang dititipkan orang tuanya pada sekolah. Mungkin akan lebih sulit karena mereka lebih muda dari anak-anak di kelas yang pertama.

Habis melahap sepotong toast oles keju jamur biru Roqefort, Applewatch sudah menjerit. Ah, sudah pukul 8 pagi. Waktunya pergi. Ternyata, salju di luaran masih menumpuk tebal di mana-mana. Alamat nggak bisa nyetir cepet, alias harus pelan-pelan. Harapanku, aku dapat tempat parkir.

Keluar dari rumah, aku menyetir pelan tapi pasti. Begitu keluar dari kampung dan melewati tanda batas wilayah, aku ingin menarik gas sampai 100 kmh. Tapi aku takut, jalanan tertutup salju. Membayangkan mobil dangdutan karena jalan licin pasti parno. Ya, sudah, aku tancap 50 kmh. Biar lambat asal selamat.

Kamu tahu nggak, Dy, di jalanan itu masih segar di ingatan, ada kecelakaan berat sampai ada helikopter dan 4 unit pemadam kebakaran membebaskan orang di dua mobil yang bertabrakan frontal. Itu semua kulihat di depan mata. Aku nggak mau itu kejadian pada diriku. Hanya gara-gara tergesa-gesa hingga membuat diri dan orang lain susah? Bodoh namanya.

Aku putar lagu dari USB. Di sana ada lagunya Claudia Emmanuella Santoso. Kamu tahu kan, siapa dia? Yup, pemenang the voice of Germanya 2019 dari Indonesia. Seminggu yang lalu, ia membalas Whatsappku. Dia baik-baik saja.  Meskipun lirih, aku pun ikutan nyanyi supaya keteganganku melawan licinnya jalan hilang. Sengaja volume Claudia juga nggak banter karena aku harus konsentrasi dengan jalan. Tak ada siapapun waktu itu yang berani ngebut. Nggak ada yang mau jadi jagoan hari ini, Dy. Keren, ya?

Setengah jam kemudian, aku sudah sampai di depan sekolah. Aduh, nggak ada tempat parkir! Aku segera kembali ke depan sekolah musik di jalan besar. Kebetulan masih ada satu. Setelah itu aku sedikit berlari memasuki gedung, supaya tidak terlambat. Untung, sepatuku solnya tebal dan kuat, mampu mencakram aspal yang ditumpuki salju. Puh!

Segera aku letakkan keranjang isi perkakas yang aku butuhkan kalau mengajar di depan pintu kelas. Biasanya, aku kudu menaruh di ruang guru, tapi aku takut terlambat. Tahu, kan, Dy. Jerman paling top soal tepat waktu, nggak ada jam karet.

Dengan tiga anak, kami mulai ritual pagi. Mulai dari menyapa, bernyanyi, menempelkan gambar ramalan cuaca, cuci tangan sampai makan pagi. Tahu nggak, Dy, bedanya balita Jerman sama Indonesia? Balita Jerman sudah dididik mandiri sejak kecil. Mereka harus makan sendiri meski semua kecer-kecer, berantakan di lantai. 

Caranya, dengan mendudukkan mereka di kursi khusus, meletakkan piring, gelas dan alat makan. Sudah, balita harus bekerja keras melahap makanan mereka sampai habis. Bayangin, nggak Dy? Muka mereka jadi kayak dakocan. Bahkan dari rambut sampai baju mereka warnanya sama dengan warna makanan yang ada di meja. Ya, ampuuuuunn, kalau boleh ketawa aku bisa ngakak. Tapi, kan, nggak boleh, Dy. Ini pendidikan namanya. Harus jaga wibawa di depan anak-anak balita.

Meski baru dua hari kenal dengan mereka, anak-anak sudah lengket sama aku. Kalau nangis, tinggal aja digendong lalu diajak kuda-kudaan. Semua udah seneng. Gampang, kan? Aku umpamakan saja caraku mengasuh ketiga anak-anakku dulu. Pengalaman memang guru yang terbaik.  Namanya juga anak Jerman, mana ada yang nggak suka kuda? Makanya mainan kuda-kudaan. Ya, lompat-lompat gitu, Dy. Lucu, ya. Jangan ketawa sampai pipis, ya.

Abis makan, kami keluar main salju. Ya ampun, minus 3 derajat! Sama kulkas saja, dingin luaran. Kamu udah diam di rumah, Dy. Kalau keluar kamu jadi es lilin.

Setelah setengah jam di luar, kami masuk dan makan siang. Begitu anak-anak ditidurkan, aku boleh istirahat. Di dapur, aku ketemu tukang masak. Karena dia baik sekali, aku sudah siapkan kejutan dari rumah. Serangkaian mie Jerman dengan bentuk bouquet. Unyu-unyu, ya? Si ibu seneng banget dan nggak nyangka kalau dapat hadiah. 

Aku bilang, dia sudah mengenyangkan perut kami setiap hari, ini cara aku berterima kasih padanya. Dialah orang yang suka ngasih gelas 5 liter dari sisa tempat timun Jerman yang gede dan asam itu. Aku pikir buat tempat krupuk lah. Kamu tahu krupuk, kann, Dy? Itu camilan kesukaan orang Indonesia. Dan selama di Jerman ini, aku masih kampungan banget, kalau makan nggak pakai sambal dan krupuk rasanya gerah.

Nggak terasa, istirahat cuma 30 menit itu seperti kilat, aku balik ke kelas lagi. Karena aku disuruh jagain anak-anak tidur, supaya guru lain bisa gantian istirahat, aku masuk ruang tidur. Ini kamar baunya ketek banget. Aku nggak tahu, siapa yang belum mandi hari ini. Payah. Bau badan dipiara, nyebelin.

Dy, untung saja sepuluh menit kemudian, ada guru lain yang bilang. Horeee, aku boleh keluar dan belajar untuk sekolah. Kalau enggak, pasti aku sudah pingsan kalau musti dua jam di kamar tidur anak ini. Bau ketek ngalahin bau pesingnya popok anak-anak innocent itu. Huh!

Tepat jam 2 anak-anak dibangunin, diganti popoknya lalu makan camilan. Yailah, tiga kali sehari dikasih makan di sekolah, nggak heran anak-anak Jerman gede-gede. Jam tiga mereka baru dijemput orang tuanya. Hari ini, kami bebas lebih cepat dari biasanya. Sayangnya, ada tugas dari bu bos buat membongkar dua lemari isi inventaris. Ya, udah. Nongkrong di lantai sambil menyortir barang-barang itu untuk dimasukin yang bener di masing-masing kotak. Idih, siapa sih, yang suka campur-campurin barang seenaknya? Bukankah sudah ada Namanya di tiap laci? Males banget.

Sejam kemudian, pekerjaan beres. Kalau kemarin aku disanjung guru wali kelas yang baru "Aku belum pernah lihat orang serajin kamu di sekolah ini", hari ini aku dipuji "Kamu orangnya baik sekali dan perhatian." Sini pinjem helmnya, Dy. Aku takut gede rasa. Mengapa coba dipuji? Gara-garanya, aku bagi-bagi sabun rasa mawar favoritku ke 16 guru sebagai ucapan selamat tahun baru. Aku membahagiakan orang dengan cara yang sederhana. Eaaaaa ....

Tepat jam 4 sore, aku ngecek dapur apa pekerjaan masih ada yang bisa diselesaikan. Ternyata semua sudah selesai. Aku tanya guru wali kelas, aku harus bantu apa lagi dan akhirnya,  dikasih pekerjaan membuat portofolio salah satu anak. Menempelkan foto-foto dokumentasi kegiatan si anak dan menuliskan komentar di sana. Ceritanya, nanti kalau sudah lulus TK, ini semacam raportnya, ngapain saja selama di taman kanak-kanak. Maklum, kann mahal. Orang tua harus tahu untuk apa uang dikeluarkan tidak dengan percuma.

Kata perempuan cantik yang wajahnya kayak Monalisa itu, kalau aku mau, aku boleh membuat portofolia si John. Padahal aku belum pernah membuat portofolio seumur hidupku tapi aku mau mencoba. Wajahku agak berseri-seri karena dipercaya membuat tugas yang sulit. Mana pakai bahasa Jerman lagi. Lirih, perempuan berambut coklat bermata biru itu menjawabku, Dy. Keren, ya.

Biasanya kalau bekerja, aku diam dan konsentrasi. Nggak terasa, teman-teman meninggalkanku sendirian di gedung sekolah. Kata mereka, mereka duluan karena repot dengan mobil yang tertimbun salju selama 8 jam dan nggak bisa pulang. Terjebak!

Begitu selesai, aku rapikan kursi di kelas dan dokumen di atas meja. Aku berharap, mobilku nggak terjebak, Dy. Sayang sekali aku salah. Mobilku tak hanya makin besar karena tumpukan salju tetapi juga tertutup rapat dengan salju. Mobilku hilang! Kalau ada Superman, pasti aku minta bantuan buat meniup supaya salju hilang. Yah, tanganku kedinginan membersihkan salju tebal yang menyelimuti mobil.

Berhasil keluar dari tempat parkir dengan selamat, aku menuju rumah. Lagi-lagi jalanan penuh. Semua mobil berjalan seperti semut. Hujan badai salju! Kalau tadi pagi bisa 50 kmh, ini hanya 30 kmh, Dy!

Alhamdulillah, 45 menit kemudian, aku sampai rumah. Suamiku sudah menghadang di jalan raya, saking khawatir kalau ada apa-apa sama istrinya. Yang paling menakutkan, ia sempat terpeleset dan terjatuh dengan posisi duduk. Namanya juga badai salju, jalan licin sekali. Di tempat parkir tadi, belahan jiwaku itu kukirim penampakan mobil yang bengkak karena hujan salju. Barangkali itu sebabnya, dia sampai ingin menjemputku jalan kaki.

Udah ya, Dy. Aku mau mandi. Besok-besok aku cerita lagi. (G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun