Tradisi berkunjung jangan pernah terhenti
Begitu pelajaran kedua yang saya dapat dari beliau.
Sejak menulis di Kompasiana pada tahun 2011, tradisi berkunjung di Kompasiana sangat kentara. Kompasianer saling berbalas pesan bak berbalas pantun. Indah, indah sekali. Rasanya ada atmosfir kekeluargaan yang sedikit hilang di beberapa tahun belakangan ini.
Kompasianer yang dari awal-awal Kompasiana sampai sekarang ini masih bertahan dan mengamati pergerakan datang dan perginya Kompasianer, pasti tahu suasana itu. Bisakah kita menghidupkan kembali?
Waktu itu, Kompasiana seperti kampung kecil yang padat penduduknya, guyub! Tak disangka kehidupan maya menjadi nyata, persahabatan manusia-manusia sejati.
Kebiasaan "blog walking" atau berkunjung dari satu akun ke akun yang lainnya memang butuh waktu yang tidak sedikit. Tambah payah jika internet tidak mau diajak kompromi atau ada acara dadakan, yang tanpa permisi.
Kuncinya mungkin konsistensi. Jika kita senang dikunjungi pasti orang lain juga punya perasaan yang mirip. Kalau kita diberi komentar indah, tak usah disangkal pasti orang lain juga merasakan hal serupa jika kita memberikan komentar asyik dan menguatkan, bukan sebaliknya. Rasa kangen jika ada teman yang sudah lama tidak muncul, tidak menulis, tidak memberi kabar, tidak berkomentar, selalu mendera di dada. Itu pasti menjelma.
Selain itu kesetiaan menjadi salah satu jalan untuk terus menjalin hubungan sesama Kompasianer dari waktu ke waktu. Setiap orang punya kehidupan sendiri-sendiri, tetapi yakin sekali bahwa kehidupan bersama nan maya di Kompasiana tidak akan pernah tertandingi, ngangeni sekali. Tidak percaya? Cobalah rajin menulis di Kompasiana dari waktu ke waktu tanpa pergi-pergi.
***
Dari semua kalimat yang saya urai di atas, tak salah jika saya sebut pak Tjiptadinata sebagai sang matahari Kompasiana. Ini sama seperti mami Kartika yang menyebut ayahandanya, Affandi, sebagai sang matahari. Mentari, satu benda yang mampu menyinari semua orang, ditunggu-tunggu, hangat dan memberikan manfaat bagi semua.
Dan jika pak Tjipta adalah matahari, pendampingnya adalah bulan. Bulan itu bernama ibu Lina. Kompasianer perempuan yang sudah berkali-kali mendapatkan K-award secara berturut-turut itu semoga akan mendapatkan award pula dari Kompasiana.