Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ini Sebab Becak Hias Semarang dan Nasi Tumpeng Dimuat Koran Jerman

2 Januari 2021   03:35 Diperbarui: 3 Januari 2021   00:42 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lead di halaman pertama menyebut nama Gana Stegmann (dok.Graenzbote)

Suatu hari Kepala desa setempat mengirim e-mail pada suami saya, isinya berpesan supaya saya menelpon beliau.

Alamakkkk. Agak takut juga, ada apa, ya? Apa saya telah melakukan kesalahan atau bagaimana? Beberapa jam kemudian, saya menelpon beliau. Kalau saya alpa pasti dianggap tidak sopan, tidak menghargai. Namanya pendatang, harus menjunjung langit dari tanah yang dipijak.

Ahhh, lega, ternyata beliau mengatakan bahwa ada wartawan kota yang ingin mewawancarai salah satu warga, yang juga orang asing, untuk menceritakan suasana natal dan tahun baru di negaranya. Ini pasti unik karena berbeda dengan apa yang biasa dilihat di negara Bundes Republik Deutschland selama ini. Beliau ingin, saya ikut serta untuk bersedia diwawancarai. Jika iya, beliau akan meneruskan kepada wartawan untuk menghubungi saya.

Saya pikir "Mengapa tidak?", saya bayangkan banyak warga asing di desa kami yang akan diwawancarai juga. Karena kalau tidak salah ada warga dari Iran, Afrika, Eretrea, Amerika, dan tentu banyak warga dari Turki, Italia dan Rusia yang tinggal di area kami, sudah bukan rahasia lagi sejak zaman nenek moyang sudah keluar-masuk Jerman sebagai "Gast Arbeiter" atau pekerja kontrak.

Perayaan tahun baru Indonesia 6 jam lebih awal

Beda negara bisa beda waktu, ini yang menyebabkan perayaan tahun baru Indonesia lebih awal dibanding Jerman. Saya cerita pada wartawan, tahun baru dirayakan sedunia pada akhir Desember atau jatuh pada musim dingin di Jerman, yang artinya Indonesia 6 jam lebih awal. 

Ketika keluarga saya sudah bergembira pada pukul 00.00 WIB, Jerman masih pukul 18.00 CET. Lewat telpon, kami biasa berbincang tentang suasana tahun baru dan saling mengucapkan selamat menjalani tahun baru dengan semangat baru, selalu sehat dan tambah rejeki baru.

Namun sekali lagi, saya harus sabar menanti tahun baru tiba karena tinggal di Jerman. Kalau di Indonesia sudah pukul 6 WIB, Jerman baru saja menjalani masa tahun baru. Unik, ya, karena bumi itu bulat.

Kebetulan sekali, saya lahir pada tanggal 1 bulan 1, yang mana ini adalah tahun baru. Selain memperingati pergantian tahun, saya juga memperingati pertambahan usia, jatah di dunia berkurang satu tahun.

Tahu tidak? Banyak orang yang mengatakan:

  • "Enak ya, ulang tahun pada tahun baru, dirayakan sedunia."
  • "Wah, asyik, semua orang pasti ingat kamu ultah ketika mereka Sylvester."
  • "Waduh, bisa irit petasan. Nggak usah beli, sudah pada menyulut sendiri-sendiri, tinggal nonton."
  • "Wow, 1.1 nomor cantik!"

Dan masih banyak lagi komentar indah dan cetar membahana.

Itulah sebab setiap pergantian tahun, saya biasa membuat nasi tumpeng kuning. Selain untuk doa tahun depan, ini selamatan diri juga. Bukankah nasi tumpeng berwujud kerucut ke arah atas itu menurut orang Jawa sebagai doa kepada Yang Esa, di atas sana? 

Harapan manusia tertambat bersamaan dengan format nasi. Mulai dari kering tempe, telur, perkedel, sayuran sampai ayam menjadi lauk-pauknya. Sedap! Anak-anak saya yang separoh Jerman saja suka melahapnya, apalagi saya. Itulah sebab, wartawan ingin menampilkan gambar tumpeng di koran.

Nah, apa lagi yang menarik dari perayaan tahun baru di tanah air selain tumpengan? Di Semarang khususnya adalah pemakaian topi dari kertas berbentuk kerucut dan bunyi terompet dari kertas. 

Tradisi ini sudah turun-temurun ada. Terompet bisa didapat di sepanjang jalan. Harga terompet yang dihiasi dengan kertas "melang-meling" (berkilat emas atau perak) juga tidak mahal harganya. 

Sayang sekali, ini kurang ramah lingkungan karena sekali buang. Namanya saja belum begitu banyak daur ulang di setiap sudut negara kita. Makanya masih menjadi sampah, yang sebenarnya justru bisa dimanfaatkan lagi kalau ada system dan tempatnnya. Biasanya kalau terompet kertas sudah ditiup seharian, ditambah basah dari hujan, lecek. Dibuang, deh.

"Teeeetttt", begitu bunyinya nyaring mengundang semangat merayakan tahun baru. Beberapa keluarga tampak asyik bermain pedal dengan becak hias. Sejam bisa Rp 25.000-50.000 tergantung besar kecilnya becak. 

Ada yang bentuknya Princess, Doraemon, Unicorn dan lainnya. Seru sekali mengelilingi Simpang Lima atau dalam bahasa Jerman "Platz der 5 Strassen", dengan becak hias yang kerlap-kerlip penuh warna. Wisata olahraga, ya? Foto becak hias menurut wartawan sangat cantik untuk ditampilkan karena unik. Di Jerman mana ada?

Oh, ya, terompet kertas itu di Jerman bentuknya seperti "Vuvuzela", terompet dari bahan plastik/melamin dengan tiga warna (hitam, merah dan emas, sebagai warna bendera nasional), yang biasa dibunyikan warga Jerman saat timnas Jerman bertanding. Vuvuzela sendiri adalah nama terompet dari Afrika Selatan. Jadi itu lebih awet, bisa dipakai terus setiap tahun, seperti milik kami di almari.

Lalu saya lanjutkan cerita pada wartawan Jerman yang berambut keriting itu bahwa perayaan tahun baru di Indonesia tak ubahnya natalan di Jerman, di mana banyak dekorasi lampu di sudut kota. Indah nian. 

Bedanya, di Indonesia khususnya di Semarang, banyak penjual makanan jalanan. Namanya juga negara hangat, mau malam juga masih saja tetap hangat temperatur udara.

Tak hanya kebahagiaan lampu, banyak keluarga berkumpul untuk bergadang, esoknya piknik atau tamasya bareng. Termasuk anak-anak muda yang naik gunung dan berkemah sampai melewati tahun baru di puncak dan menyaksikan matahari terbit. Ah, lupa menyebutkan bahwa jagung bakar banyak dicari orang untuk melewatkan malam tahun baru. JBL -Jagung Bakar Lesehan.

Beda daerah, beda cara merayakan tahun baru

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Semoga tidak hilang satu-persatu diklaim negara tetangga atau dijual negara.

Karena pernah membaca tentang tradisi Mandala Hatta di Sumatra, wartawan sangat tertarik untuk menuliskannya. Lah iya, ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, anak yang paling muda harus mengakui kesalahannya di depan keluarga. Ini unik, symbol bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna, tetap saja ada kesalahan yang dilakukan dalam hidup.

Yang unik lagi selama tahun baru adalah tradisi nikah massal. Dulu saya pernah melihat waktu masih muda dan tinggal di Semarang. Di mana semua pasangan yang sudah memiliki pacar tapi tidak punya biaya untuk menikah (mulai dari kebutuhan baju, seserahan dan pesta,  termasuk makanan dan minuman untuk tamu), dinikahkan oleh pemda setempat dengan sokongan dari partai atau bahkan sebuah keluarga atau pribadi.

Keunikan perayaan tahun baru dengan wayangan (nanggap wayang kulit) dan pesta lampion di Dieng misalnya, sangat menarik untuk disimak. Dahulu sekali, masyarakat masih betah lek-lekan (begadang sampai malam) untuk melihat dalam memainkan wayang kulit sampai pagi. Sekarang saya tidak tahu, apakah generasi muda ada yang menontonnya?

Lead di halaman pertama menyebut nama Gana Stegmann (dok.Graenzbote)
Lead di halaman pertama menyebut nama Gana Stegmann (dok.Graenzbote)
Dampak Penjajahan Belanda, perayaan natal jadi unik

Kita sudahi cerita tentang tahun baru. Natal yang belum lama ini dirayakan masyarakat sedunia yang beragama nasrani, merupakan tema yang diangkat si wartawan berkacamata itu.

Indonesia memang negara yang berwarna. Dengan 6 agama yang hidup di dalamnya dan mayoritasnya adalah beragama Islam (85%), ternyata masih terlihat bagaimana warga minoritas bersuka-ria memperingati natal bersama keluarga, sanak-saudara dan handai-taulan.

Pulau-pulau timur Indonesia seperti Maluku dan Papua, banyak dikunjungi missionaris. Dalam salah satu foto admin Koteka, Dhave Danang yang disertakan dalam pameran di Jerman tahun 2013 yang lalu, ada acara peringatan kelahiran Yesus. Yaitu dengan pembakaran batu, untuk kemudian sebagai tempat membakar babi.

Atau Bali, yang mayoritas penduduknya memeluk Hindu pun masih ada yang merayakan natal. Nggak percaya? Ada tuh, acara Penjor.

Kalau di Jerman Santa dijuluki Weihnachtsman, di Indonesia meski dengan penampilan yang sama mulai dari rambut putih dan janggut panjang warna putih dan baju warna merah, disebut Sinterklas. Barangkali karena ini terpengaruh dari penjajahan Belanda. Dalam bahasa Belanda adalah Sinterklaas.

Seingat saya, kami pernah tertawa lepas sampai mau pipis, karena ada turis Belanda yang datang ke Maluku, membuat video tentang tradisi Sinterklaas. Saya lupa  namanya. Ia mengumpulkan dana dari keluarganya di Eropa dan keliling kampung Indonesia untuk membagikan hadiah. 

Di sanalah, ia meminta dua orang teman Indonesia untuk menjadi Sinterklas dan Pit hitam. Tetapi karena orang Indonesia kurang beken dengan tradisi itu, anak-anak pada nangis dan lari pontang-panting begitu dipegang Pit atau Sinterklas, padahal mau dikasih hadiah. Bisa saja karena penampakan Pit hitam yang benar-benar hitam sangat menyeramkan. Meskipun menangis, mereka akhirnya bahagia karena di tangan mereka ada hadiah natal.

***

Itulah hal-hal yang saya kisahkan pada wartawan Graenzbote, Frau Alina Ehrlich itu. Terakhir, saya ulas bahwa bagi saya, natal adalah hal baru yang saya kenal selama berada di Jerman yang memiliki mayoritas pemeluk Katolik Roma.

Betapa tidak, lahir dan besar di Semarang, di mana mayoritas warganya beragama Islam, budaya lebaran lebih lekat ketimbang natalan. Pernah satu-dua teman sekolah menceritakan pengalaman mereka, bahkan memperlihatkan bagaimana mereka merayakannya. Namun, sekali lagi tidak massal, tidak semeriah di Jerman. Seperti melihat film-film Hollywood begitu, deh.

Ini tentu saja berbeda jika saya tinggal di Sumatra, Maluku atau Papua atau daerah lain yang memiliki populasi Nasrani lebih banyak. Perayaan natal pasti lebih megah lagi.

Sebaliknya, sejak pindah ke Jerman, tidak ada perayaan lebaran yang saya lihat. Sekalipun ada, ini sangat sederhana, tidak seheboh di tanah air. Dan tentu dengan kelompok kecil atau minoritas.

Kemudian menurut saya, natal di Jerman adalah tradisi baik dan patut dilestarikan sebab banyak keluarga yang akhirnya bersatu karena pada natal biasanya banyak orang ingin melupakan pertikaian keluarga, banyak berbagi hadiah dan ingin melewatkan malam natal pada tanggal 24 bersama keluarga inti dan atau keluarga dekat. Ini sangat jarang terjadi. 

Istilahnya hanya setahun sekali. Ini jelas berbeda dengan Indonesia yang bertemunya bisa setiap hari atau setiap minggu sampai bulan misalnya arisan atau silaturahim. Sayang tidak di Jerman karena individu lebih tinggi dari kelompok/kekeluargaan.

Baiklah, hal yang menyenangkan adalah meskipun saya bukan Nasrani tetap saja selalu mendapatkan hadiah natal dari banyak orang mulai dari teman, tetangga, saudara, kerabat dan entah siapa lagi. Asyik, ya? Inilah indahnya berbagi.

Tak heran, jika di Jerman ada orang yang bahagia sekali dikatakan "Gluecklich wie an Weihnachten", atau bahagia seperti saat natal tiba, padahal natal masih jauh. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun