Pada kunjungan bapak Konsul Jenderal KJRI Frankfurt Bapak Acep Somantri di kampung kami, Buergermeister atau kepala desa mengundang wartawan kota setempat, Frau Ehrlich dari Graenzbote. Menurut saya itu tepat karena kedatangan pejabat RI ke desa-desa pasti amat sangat jarang. Kalau ke kota besar sudah pasti. Jadinya ini harus diliput dan jadi bukti otentik. Dan ternyata wartawan itu benar datang pada pertemuan yang saya gagas.
Selama di ruangan kami boleh melepas masker untuk mencicipi kudapan seperti Brezel (roti berbentuk gelung dengan bubuhan garam krasak), Weihnachtsgebaek (kek natal) dan Butterzopf (roti empuk dengan kismis). Minumannya pasti khas Kaffee trinken, tradisi minum kopi sore-sore yakni kopi dan teh.
Yang paling menarik adalah bahwa yang laden atau menghaturkan makanan dan minuman adalah bapak Juergen Buehl sendiri.
Lalu saya berbisik pada wartawan yang duduk di seberang saya, "Kalau di negara saya nggak bakal laki-laki apalagi kepala daerah yang ngladeni, biasanya perempuan; sekretaris atau stafnya", telapak tangan saya menutup mulut tanda malu. Dan saya tambahi cerita ketika tahun 2019 bikin pameran sebulan di museum setempat, kepala daerah itu ikut usung-usung, angkat-junjung barang di hari terakhir. Sungguh pemandangan yang bagi saya "wow."
Suami saya mendelik dan mengingatkan bahwa hari itu hari Jumat, semua sudah pulang karena kerja setengah hari. Saya tepok jidat.
Betul juga, sih. Kalau tidak ada siapa-siapa, pak Buehl harus melakukannya sendiri. Lho, bukannya ada saya dan dua staffs dari konsulat? Saya jadi nggak enak. Hiks.
Pertemuan berakhir, kunjungan ke kantor beliau diteruskan ke museum tempat saya biasa mengadakan pameran, gereja tahun 1700 dan bukit cinta-Karpfen. Endingnya makan malam di rumah kami. Beberapa jam kemudian setelah chit-chat dan pemberian award, rombongan bertolak ke Frankfurt.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tak terasa sudah 10 hari. Hari ini rupanya berita itu posting juga di koran Graenzbote.
Girang bukang kepalang. Diwawancarai wartawan koran baik di Indonesia maupun di Jerman bukan pertama kalinya tapi baru kali ini judul yang ditulis adalah nama saya. "Gana Stegmann membawa budaya Indonesia ke Seitingen-Oberflacht." OMG! Apakah ini karena yang menulis adalah perempuan?
Berkali-kali saya baca, serasa tak percaya bahwa berita tentang bapak Konjen dan bapak kepdes hanya satu paragraf, lainnya hanya tentang saya. Apakah ini solidaritas perempuan? Saya kira iya. Tuh, kan bukti bahwa feminisme di Jerman nyata.