Masih ingat cerita saya soal proyek pembuatan pagar sepanjang 40 x 2 meter rumah kami? Saya lebih memilih uangnya untuk keliling dunia tetapi, suami saya bersikeras tembok itu harus jadi. Banyak alasan yang menguatkan niatnya.
Pertama karena tanah miring dekat jalan biar rata sehingga rumput bisa dipangkas dengan truk pemangkas. Kapan kali, suami saya terguling dan nyungsang di tiang lampu jalan karena kemiringan 45 derajat itu sangat rawan saat mengendarai truk kecil pemangkas rumput. Belahan jiwa saya butuh dua orang tetangga bertubuh tambun untuk membantunya keluar dari truk. Itu saja awalnya pakai teriak "mama- mama ..." Memanggil saya tapi saya lagi nulis blog Kompasiana di ruang tamu eh masak di dapur ding. Untung tidak ada cidera serius, kecuali malu lantaran ia seperti kura-kura yang terbalik.
Kedua, supaya kebun bagian belakang tertutup, sementara kebun belakang yang menghadap hutan dibiarkan terbuka dengan pagar kawat. Maklum, tetangga seberang suka ribut jadi lebih aman kalau ada pagar. Xixixi.
Selama membuat pagar dengan kontraktor, sebagian pekerjaan kami kerjakan sendiri. Selain lebih hemat dan kami suka kerja keras, namanya kontraktor Jerman, sulit carinya. Sekali dapat, selesainya lama karena disambi-sambi. Nah, kalau kami bantu ngerjain, lebih cepat selesai.
Untuk semakin mempercepat pekerjaan, suami saya hendak membeli alat pengeruk tanah. Ketika dicek, harganya ada yang 13.000 euro (merk CAT 2,8 ton) sudah termasuk pajak. Tapi dipikir-pikir sayang duitnya dan nanti mau parkir di mana?
Meminjam alat pada kontraktor lain juga mahal, 200 euro per hari atau kira-kira 25 euro per jam. Entah itu dipakai atau tidak. Padahal untuk pekerjaan mengeruk, ada kerjaan lain yang harus diselesaikan. Jadi setiap hari kurang dari 8 jam perhari dipakai. Artinya rugi kalau pinjam 2-7 hari tapi pakainya cuma 2-3 jam.
Suami saya berpikir keras, bagaimana caranya mendapatkan alat pengeruk tanah.
Salut, lelaki saya memang cerdas. Ia ingat bahwa salah satu teman dekatnya sedang membangun rumah. Di sana, kami pernah melihat ia punya alat pengeruk tanah di kebun. "Ting"
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, sang teman merekomendasikan untuk meminjam "Bagger" atau alat pengeruk tanah itu pada temannya.
Lah, namanya orang Jerman. Kalau tidak kenal sama sekali, bagaimana ia bisa meminjamkan pada orang lain? Saya sangsi. Tapi kata orang Jerman "Fragen kostet nicht" atau bukankah bertanya itu tidak harus bayar?
Terlintas gagasan untuk mengunjungi si pemilik alat di caf miliknya. Jadi sebelum pinjam alat, kami makan di tempatnya. Kalau sudah selesai makan dan bayar, baru minta izin pinjam alat. Begitu rencananya.