"Bu, utang kita masih kira-kira sekian euro di Bank. Aku sudah ada tabungan segitu tapi kalau dibayarkan ke bank, aku nggak punya modal usaha. Asap dapur nggak bisa ngepul. Uang itu harus diputar buat usaha, nggak bisa dicairkan." Suami saya ngobrol santai di atas sofa merah hati kesukaannya.
Ia juga memberitahukan bahwa kredit rumah kami diperkirakan akan lunas ketika anak bungsu kami berusia 18 tahun atau 7 tahun lagi, kalau rajin atau lebih tepatnya disiplin mencicil kredit bank.
Sebenarnya, ada keinginan untuk lebih cepat melunasinya selagi ada uang simpanan, supaya hati tidak berdebar-debar ada bunyi "dat-dit, dat-dit... kredit", ketika menempati rumah kami.
Sayang, setelah dikonfirmasi ke pihak bank tentang niatan kami, management tidak mengizinkan nasabahnya untuk mengubah perjanjian kredit dengan mempercepatnya. Artinya, kredit bank tetap harus berjalan dengan bunga dan jumlah angsuran yang sama sesuai perjanjian lama.
Begitulah rasanya utang, tidak nyaman. Serasa dikejar, ada deadline dan tentunya besar tanggung-jawab yang harus dipikul.
Lho, mengapa dulu berani utang bank?
Ah, namanya rumah tangga, pasti ingin memiliki rumah sendiri. Karena kalau sewa rumah atau sewa flat, berarti membayar tapi sampai kapanpun tempat tinggal tidak akan jadi milik sendiri. Berbeda sekali dengan membeli dan kredit bank. Membayar tiap bulan dan kalau disiplin sampai final, tempat tinggal jadi milik pribadi. Tempat tinggal di Jerman ada dua; Einfamilienhaus (rumah) dan Wohnung (flat).
Zaman itu kami berangkat dari nol berdua, tidak punya apa-apa dan baru saja pindah ke Jerman. Keadaan serba sulit. Suami masih memulai pekerjaan yang baru. Lalu, kami beranikan diri mengambil kredit 20 tahun pada sebuah bank di kota supaya tidak ikut PMI (Pondok Mertua Indah).
Bersyukur bahwa di Jerman itu selalu ada subsidi dan support bagi keluarga muda untuk mengambil kredit rumah dengan bunga rendah dan cara yang mudah. Semua berjalan mulus sampai tahun ini. Itulah yang mendorong kami untuk nekat utang dari awal.
Toh kami banyak temannya. Hampir semua orang yang kami kenal di Jerman, punya rumah karena utang bank dulu. Menurut pengamatan saya dari pengalaman mereka, bukan orang Indonesia saja yang pintar berhutang. Orang Jerman juga manusia, suka ambil kredit.
Soal mudahnya utang bank untuk kredit tempat tinggal, sungguh kesejahteraan hidup di Jerman yang mungkin bikin orang Indonesia ngiri. Saya masih ingat cerita salah satu artis Indonesia yang tinggal di Jakarta, kepada saya waktu ia bertandang ke Jerman. Utangnya milyaran dari beli rumah, untuk bayar bunganya saja sudah susah alias tinggi apalagi bayar cicilan kreditnya?