"Kamu bercanda. Nanti malam kita balik lagi ke sini, jalan-jalan lagi lalu ambil botol sekalian." Suami saya kasih ide yang lebih bagus. Ia nyengir kuda.
"Yah, paling bakal diambil orang-orang di san itu. Kecuali sampahnya." Kata saya. Mendengar dari percakapan kumpulan sebuah keluarga di meja seberang, saya yakin mereka bukan orang Jerman asli. Masih EU dan tinggal di Jerman tapi terkenal sebagai (maaf) maling.
"Ah, biarin saja kalau memang begitu." Suami saya tidak mau ambil pusing.
Setelah sejam berada di tempat asyik itu, kami pulang. Sinar matahari masih juga menyengat tetapi angin tak kalah berang menggigit kulit. Aneh, panas tapi dingin.
Delapan jam kemudian, kami benar-benar kembali ke sana. Tujuan kami, jalan-jalan rutin sebelum tidur dan tentu saja untuk mengambil sampah yang kami kumpulkan tadi. Di tangan kami sudah siap tas untuk mengangkutnya.
Apa yang terlihat?
Sebagai informasi, satu botol jika ditukarkan di mesin penukar botol di toko atau swalayan diharga 8 sen. Total hanya 2, 64 euro. Namun mengapa orang yang mengambil sampah di atas meja, sampahnya tidak diambil semuanya?
Kepala saya mengangguk. Apa yang kami temukan di atas meja itu membuat saya berfantasi dengan kalimat, "Terima kasih sudah mengumpulkan sampah botol yang berserakan dan ini dua botol sebagai upahmu. Sampahnya, kami nggak butuh."
Kami pun berpandangan lalu tertawa terbahak-bahak. Penerawangan saya benar-benar terjadi. Botol-botol yang kami kumpulkan sudah ada yang ngangkut. Sudah bagus, two thumbs up. Masalahnya, mengapa mereka meninggalkan dua botol dan sampah. Bercanda, ya.
Ya, sudah. Semoga ke depan tak lagi banyak sampah bertebaran di hutan. Mari kita cintai bumi. (G76)