Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anak Kombes Ngebut, SIM Dicabut

2 Juli 2020   22:04 Diperbarui: 2 Juli 2020   21:55 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kemarin suami saya ngajak ngobrol soal barbecue. Ia bertanya, apa ada jadwal di kalender saya pada tanggal sekian. Namanya orang Jerman, mereka ini paling suka dengan tradisi bakar-bakar daging pas summer atau disebut "grillen." Musim panas atau "Sommer." Meskipun tiap hari nggak panas, tetapi masih ada harapan ada hari panas untuk duduk di luar menikmati udara segar sambil ngobrol dan makan-makan bersama orang-orang terdekat. Tiap hari barbecue? Alamakkkkk, nggak kuaaaat.

Begitulah. Saya ditanya suami, siapa saja yang enaknya diundang. Karena yang punya ide suami, ya, saya pikir teman-teman suami sajalah yang datang. Kalau teman-teman saya biasanya group, jadi banyak. Lah, nggak bisa karena pandemi. Makanya, semua saya serahkan pada misoa.

Setelah dihitung-hitung, belum ada 10 orang yang akan diundang. Itu batas maksimal untuk berkumpul di sebuah rumah. Ia pun berpikir untuk menelpon teman lamanya di Freiburg. Saya, sih, OK-OK saja. Saya nggak keberatan.

Tak berapa lama, telepon berdering. Suami mengangkat telepon. Ah, ia adalah teman yang baru saja kami bicarakan. Kok, nyambung? Kata orang Jawa, artinya si orang panjang umur. Sedang dibicarakan, eee .. nongol. Telepati?

Meski nggak nguping, saya yakin mereka ngobrol ngalor-ngidul. Seperti biasa, mereka berdua bertukar informasi tentang keadaan terkini di dalam keluarga. Maklum, jarang ketemu kalau nggak acara istimewa karena jarak memisahkan. Apalagi ditambah pandemi, nggak bisa ketemu orang seenaknya.

Nah, mumpung sekarang lagi dilonggarkan pemerintah, suami ingin dia datang. Si teman yang sudah gatal ingin keluar rumah, mengiyakan ajakan. Bungkus!

Oh, ya, dalam blah-blah si pria cerita kalau anak sulungnya yang perempuan (19 tahun), baru saja mendapatkan SIM. Halah...Saya paham mencari SIM di Jerman itu sulitnya minta ampun dan ... mahal! Sudah habis 2000 euro atau sekitar 30 jutaan, belum tentu jaminan bisa dapat SIM. Mau nyetir seenaknya kalau sudah ada SIM? Mimpi!

Saya ingat-ingat lagi,  dulu saya 3 bulan kursus menyetir dalam bahasa Jerman, 18 kali praktek, 1 kali tes tertulis dalam bahasa Inggris dan 3 kali tes praktek. Lalu, baru dapat SIM. Bersakit-sakit dahulu lah. Jadi nggak model kayak saya dulu tahun 1994 di Semarang, hari ini bikin-besok jadi.

Kompasianer, pernah dengar "a good news is a bad news?" Di balik berita bagus tadi ada berita buruknya. Setelah sebulan punya SIM, si anak ngebut dan SIM dicabut polisi. Mengapa? Karena barangsiapa yang mendapat SIM di Jerman akan melalui masa percobaan selama 1 tahun. Jika dianggap melanggar poin-poin tertentu termasuk mengebut, SIM akan diambil polisi. 

Akibatnya, si anak harus "Einschulung" lagi atau masuk kelas kursus nyetir lagi, supaya tahu/ingat tata tertib  di jalan raya. Dan tentu, nggak boleh ngebut lagi. Mengebut selain membahayakan keselamatan diri sendiri, juga keselamatan orang lain- yang notabene memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita. Betul? Jadi, jangan hanya ego sendiri dibawa-bawa, empati juga perlu.

Yah, maklum lah, namanya juga anak-anak. Darah muda begitu, tuh. Lagi seneng-senengnya dapat SIM, nyetir mobil, pengennya kenceng saja jalannya. Nggak heran banyak cerita kecelakaan anak-anak muda di Jerman sampai meninggal, hanya karena tidak mengindahkan peraturan. Selain menabrak orang atau bangunan, juga kecelakaan tunggal seperti menabrak pohon besar. Biasanya lalu dipasang kayu cross dan vas bunga sebagai penanda, di sana pernah terjadi kecelakaan.

Ups. Kembali lagi soal pencabutan SIM. 

Saya diam sejenak lalu berpikir. Idih, masih penasaran dengan berita nggak enak tadi. Anak kombes ngebut, SIM dicabut?

"Lho, bukannya istri temanmu itu polisi, Haupt Komisarin-komisaris besar di kota?" Tanya saya. Kepala saya mencoba mengingat-ingat pertemuan saya dengan perempuan bertinggi hampir 2 meter itu. Tubuhnya gagah, rambutnya pirang, suaranya kencang. Deg-deg aaaaan.

"Iya, apalagi dia merangkap sebagai kepala desa di Muggenbrun sejak dua tahun lalu." Suami saya mengingatkan bahwa si ibu bukan komisaris besar biasa. Ia juga mengatur pemerintahan di desa tempat mereka tinggal. Gajinya dua. Keren, ya. 

"Aku kira, keluarganya termasuk si anak, kebal hukum. SIM-nya diambil juga, ya. Aneh" Saya bergaya innocent, merasa masih berada di surga Indonesia.

"Memangnya Indonesiaaa, kalau anaknya orang berpengaruh bisa bebas. Ini Jerman, bu." Suami saya ngeloyor pergi ke ruang bawah tanah.

Tepok jidat. Saya pun sadar bahwa kalau mengganggu tetangga saja bisa dipanggil polisi, kena denda atau masuk penjara. Ini lagi soal ngebut sembarangan, pasti lebih ribet lagi aturannya. Namanya Jerman, hal kecil sampai besar diatur secara detil dan ... lurus! Iya, nggak belok-belok atau nggak bisa dibelokin. Beda, ya.

Semoga saja cerita ini memberikan inspirasi bagi pembuat peraturan di jalanan Indonesia. Dari tahun ke tahun, statistik- jumlah kecelakaan lalin bertambah. Artinya, masih banyak pengguna jalan di tanah air yang kurang atau bahkan tidak disiplin. Siapa tahu, ke depan aturannya dibuat lebih detil dan tegas seperti di Jerman ini. 

Pesan bagi anak-anak muda yang baru saja mendapat SIM di tanah air, untuk ekstra hati-hati. Senang dan girang boleh tapi jangan kelewatan. Di Indonesia itu, sudah jalannya sesak, aturannya belum sebanyak dan seketat di Jerman pula. Takutnya pada menyetir sembarangan dan merugikan orang-orang, sampai ada cerita nyawa melayang. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun