Dikabarkan, siswa kelas 7 dari kelompok 1 tersebut pernah pamit pulang karena sakit pada minggu pertama, di saat anak kami yang ikut kelompok 2 di rumah. Adat di sekolah selama pandemi, jika anak merasa tidak enak badan, boleh meninggalkan kelas dan menuju kantor sekretariat supaya petugas menelpon orangtua untuk menjemput.
Biasanya, petugas akan menemani anak menunggu jemputan dengan sabar, membuatkan teh atau menawari makanan kecil sampai orangtua menjemput di kantor.
Setelah anak yang dijemput tiba di rumah, anak tersebut langsung diperiksa oleh orangtuanya. Karena memiliki gejala corona, maka dites. Setelah menunggu beberapa hari, diketahui hasilnya positif. Orangtua segera memberi kabar sekolah, supaya tidak merugikan siapapun yang berada di lingkungan sekolah. Tidak, mereka tidak berbohong, itu tidak terpuji.
Akibatnya, seluruh teman yang sekelas si anak dan para guru yang mengajar kelas tersebut, petugas sekretariat yang waktu itu bertemu dengan si anak pada hari H dikarantina selama 14 hari. Lalu, yang tidak menunjukkan gejala sakit alias sehat, bagaimana? Ya, tetap harus di rumah.
Sedih juga sih mendengarnya, Jerman sudah kekurangan guru sebelum ada corona. Di masa pandemi ini lebih seronok lagi karena guru yang berada di usia 60 tahun ke atas tidak boleh mengajar, ditambah dengan guru yang muridnya ada yang terkena corona ini. Minus-minus. Saya geleng-geleng kepala.
Berdiskusi dengan anak-anak
Setelah membaca berkali-kali informasi dari kepala sekolah tadi, kami pikir tidak ada alasan untuk melarang mereka kembali ke sekolah karena sudah ada peraturan protokol kesehatan di sekolah. Mereka ini sudah lama berada di rumah, jangan ditambah lagi.
Kami berdiskusi dengan anak-anak waktu makan. Menekankan lagi bahwa virus ini nyata tidak main-main. Ada lho, orang yang tidak percaya atau menganggap remeh kalau virus ini tidak exist alias cuma nakut-nakutin masyarakat saja, atau yakin tidak akan ketularan. Dari kejadian di sekolah, kami pun mengajak anak-anak untuk selalu waspada, hati-hati dan jaga diri di sekolah.
Selain masker, kami katakan bahwa menutup mulut dan hidung dengan kain atau syal dibolehkan tetapi face shield tidak disarankan. Partikel atau molekul kecil masih bisa menyelip ke hidung dan mulut meski ada tameng transparan di wajah. Untuk itu, persediaan masker sekali pakai yang cukup telah kami selipkan di tas sekolah anak-anak. Kalau lupa atau hilang, ada serep.
Para guru di sekolah juga menerima sumbangan masker dari para orangtua. Kalau ada anak yang lupa yang lupa bawa, langsung diberi secara gratis, namun lain hari harus bayar.
Begitulah, kami berharap supaya informasi penting itu tersampaikan dengan baik dan menjadi perhatian khusus bagi anak-anak. Kalau di sekolah, orangtua kan di rumah, jadinya tidak bisa ngawasin. Makanya si anak diberitahu untuk mengikuti protokol kesehatan.
Masker pasti paling sulit dilakukan anak-anak karena jadi pengap ditutupi mulut dan hidung, nafasnya mau putus kalau lama-lama pakai. Lalu menjaga jarak saat duduk atau berdiri, tidak bergandengan, tidak berpelukan dengan teman harus diingat-ingat. Menjaga kebersihan tangan dengan mencuci pakai sabun serta tak lupa disinfektan, jadi juru kunci tips menghindari penyebaran virus.