Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Denda di Masa Pandemi Berlaku untuk Pejabat?

23 Juni 2020   15:28 Diperbarui: 23 Juni 2020   15:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata orang, peraturan memang dibuat manusia untuk dilanggar. Benarkah?

Siapa yang biasanya membuat aturan? Pejabat kan? Siapa targetnya? Masyarakat, kan? Kompasianer, numpang tanya. Pejabat itu masuk masyarakat, nggak sih?

Rasanya rada mirip sindiran di atas, bahwa kalau ada aturan ya, pasti ada yang melanggar lah.

Tapi asli nggak nyangka kalau pejabat yang membuat aturan, justru akan jadi orang yang melanggar. Kisah nyata itu lagi santer dibicarakan di Jerman baru-baru ini. Mengapa? Sebab Minister Presiden negara bagian kami Baden-Wuerttemberg, bapak Winfried Kretschmann disorot media. Kalian tahu apa yang beliau langgar? Simak, yuk.

Denda bagi yang bergerombol lebih dari dua orang dan nggak pakai masker

Beberapa hari yang lalu, anak kami yang nomor satu lapor. Biasa anak kos, hilang begitu saja. Datang kalau ada perlunya. Uangnya habis, minta setoran. Apalagi, ia harus membayar uang denda karena mendapat surat cinta dari pemda. Eh? Mengapa bisa sampai begitu?

Ceritanya, zaman Jerman masih tinggi angka pertambahan pasien Corona yakni sekitar bulan April, ada peraturan bahwa boleh bergerombol dengan dua orang saja, kecuali kalau sekeluarga (bapak-ibu dan anak-anak).

Itupun harus pakai masker semua, karena wajib masker sudah berlaku sejak 27 April 2020.

Nah, rupanya, suatu hari anak kami itu pergi bersama dua orang temannya ke Pizzeria atau restoran setempat yang menyajikan masakan khas Italia seperti pizza, Spaghetti, Rigatoni dan raviolii.

Memang orang kalau lagi apes, apalagi namanya anak muda kan gayanya sok cool jadi bahan perhatian. Ya, kebetulan saat itu ada petugas pemda (Ordnungsamt) yang sedang patroli. Setelah menanyakan Ausweis atau ID card, ketiga anak dikatakan akan mendapat surat denda karena mereka bertiga, bukan berdua, ditambah yang paling parah, nggak pakai masker.  Di daerah kami, memang dendanya mencapai 15 euro (Rp 360.000) kalau baru sekali dan kalau sudah berkali-kali nggak pakai atau lupa, 30 euro (Rp 480.000).

Akibatnya, total denda masing-masing anak adalah 120 euro atau sekitar Rp 1.900.000 an. Sayang duitnya, dibuang percuma. Kantong jadi bolong.

Denda di masa Corona, membuat sebuah kota kaya-raya

Begitu berita yang diturunkan oleh website Stimme.de pada 29 April 2020 yang lalu. Reporter  memberitakan bahwa pemda Heilbronn, sebuah kota kecil di sungai Neckar, Jerman Selatan  berhasil mengumpulkan denda lebih dari 70.000 euro atau Rp 1.120.000.000,00. Sungguh angka yang sangat bombastis!

Betul kan, itu tadi, kalau ada aturan ya pasti ada yang melanggar. Dari yang kecil-kecil tapi yang melakukan berjamaah, lengkaplah sudaaaah.

Kota yang memiliki jumlah populasi setidaknya 129.000 orang itu sungguh indah dan menarik. Silakan bayangkan gambaran abad 13-16. Jejaknya masih kentara di sana. Gimana nggak ngiler jalan-jalan ke sana? Nggak heran kalau banyak orang bertebaran di setiap sudut kota. Saya pernah ke sana sampai hari ini masih terngiang-ngiang.

Sebab itulah kota juga menjadi daerah yang ngeri di masa pandemi karena sudah banyak orang, eee jarak rumah dempet-dempetan. Buntutnya bisa ditebak, setiap mata polisi dan petugas yang berwenang di daerah setempat patroli ke sana-ke mari.

Dari 664 laporan, 90 persen di antaranya adalah tentang die Nichteinhaltung der Zwei-Personen-Regel im ffentlichen Raum" alias bergerombol lebih dari 2 orang di tempat umum. Lalu karena nggak patuh, kena denda.

Dibandingkan dengan daerah kota Heilbronn itu, pemda wilayah pedesaan mendapatkan keuntungan yang lebih rendah karena nggak banyak yang melanggar, orangnya lebih hormat.

Apakah denda juga berlaku untuk pejabat?

Dari cerita anak kami dan orang-orang di Heilbronn, kebanyakan dari masyarakat yang bayar tadi adalah orang-orang kecil; yang jalan-jalan di kota, jalan-jalan di taman, bergerombol di restoran dan tempat umum lainnya yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan dideteksi oleh petugas.

Bagaimana dengan pejabat, kena denda nggak?

Pernah nggak kejadian seperti itu?

Pernah dong. Di Jerman, tempat kami tinggal baru-baru ini.

Ini pula yang akhirnya menjadi catatan kecil bagi setiap negara bahwa para pejabat harus tetap berhati-hati dalam kehidupan sehari-hari. Mereka ini menjadi panutan dan disorot banyak orang. Jangan dikira kalau sudah pejabat bikin aturan lalu mempan aturan dan denda, atau bertindak dan berkata seenaknya. Tidak, pasti tidak. Nggak kebal hukum.

Itu barangkali kelalaian dari Minister Praesiden kami Winfried Kretschmann. Pria berambut putih perwakilan partai Gruene itu tidak memakai masker selama 45 menit menunggu pesawat terbang dari Berlin ke Stuttgart.

Hal itu menjadi bulan-bulanan media lantaran Sarah Kramer dari Pforzheim yang kebetulan hari Rabu 17 Juni yang lalu berada di satu pesawat dengan sang tokoh, menjadikannya viral.

Selain status di FB, Sarah juga merekam kejadian itu melalui video telepon genggam. Bukankah wajib pakai masker sudah digembar-gemborkan sang politikus demi meredam angka pertambahan pasien covid19? Itu juga termasuk ketika di ruang tunggu pesawat dan di dalam pesawat. Sayangnya, pak Kretschmann sebagai satu-satunya orang yang alpa. Omdo, rakyat jadi iri.

Dalam berita yang ditayangkan SWR3, partai FDP yang diwakili bapak Hans Ulrich Ruelke mengecam hal itu karena sebagai panutan, beliau tidak selayaknya melakukan hal itu. Jika menginginkan warga taat, yang mengatakan juga harus patuh pada aturan yang sama.

Harusnya, meskipun jumlahnya hanya 15-30 euro, pak Minister harus tetap bayar denda dan nggak boleh mengulanginya lagi. Minta maaf dan malu.

***

Kericuhan di dalam masyarakat akibat keteledoran perdana menteri negara bagian Baden-Wuerttemberg, pak Kretschmann nggak pakai masker ini, kesannya terseret berita kebrutalan ratusan pemuda pada hari akhir pekan lalu. Di mana ini mengingatkan kita pada kerusuhan di Jakarta, banyak orang menjarah toko-toko! Pelakunya mayoritas adalah orang Jerman yang memiliki darah asing.

Kali itu daerah yang ketiban sampur adalah Koenigstrasse. Pusat perbelanjaan di Stuttgart, Jerman yang dulu zaman raja-raja biasa dibuat pawai keluarga kerajaan untuk mengunjungi rakyatnya. Dalam tragedi di ibukota Baden-Wuerttemberg itu, 40 toko dijarah, 7 di antaranya ludes. Kasihan ya, sudah bisnisnya hancur, rugi pula. Semoga mereka diberikan rejeki yang cukup, yang hilang akan kembali lebih banyak.

Teman-teman, lewat cerita saya ini, semoga kita sebagai masyarakat Indonesia tetap ingat bahwa kalau penduduk biasa saja harus bayar denda dan saling mengingatkan, menjadi teladan bagi yang lain, para pejabat harus lebih bisa mempraktekkannya. Maklum, saya ini agak negative thinking berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah ...  di Indonesia masih ada KKN ? Lebih mudah terjadi penyelewengan? Pejabat imun?

Lantas ketertiban masyarakat selama aturan pemerintah di masa pandemi masih berlaku, semoga tetap terjaga karena dilakukan bersama-sama, nggak ada yang bandel. Misalnya nggak boleh bergerombol, nggak ada pesta dan wajib memakai masker. Ingat, hanya pakai face shield tidak dianjurkan. Masker wajib karena mampu menutupi hidung dan mulut. Sedangkan kaca transparan yang menutupi wajah tetap bisa bikin nafas mulut dan hidung kita. Virus masih bisa minta permisi bahkan asal nyelonong masuk. Betul?

Saya nggak tahu apakah demi mengatasi ketidakdisiplinan masyarakat yang melanggar ketentuan sehubungan dengan penyebaran virus Corona, pemerintah RI akan mengeluarkan aturan denda pada suatu hari nanti. Maklum, demi mengendalikan pertambahan jumlah pasien corona, memang harus keras. Ya, seperti di Jerman. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun