Menteri Kesehatan Jerman sudah mengumumkan bahwa sebentar lagi vaksin corona akan siap untuk diberikan kepada setiap penduduk di Jerman. Sedangkan sekarang ini, Jerman meniti masa "New Normal" atau keadaan normal yang luar biasa karena enggak biasa alias ada beberapa aturan yang harus diperhatikan demi mengantisipasi penyebaran covid19 saat roda kehidupan kembali berjalan.
Saya dengar dan lihat bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi masa "New Normal" ini. Ada yang pro, banyak yang kontra. Dan tentu saja masih terlihat bahwa keharusan memakai masker masih jamak ditemukan di tanah air. Kata ibu saya, yang laki-laki bisa disuruh push-up kalau ketahuan petugas gara-gara lupa pakai masker saat kelayapan. Bahkan sebentar lagi ada wacana pemberian denda bagi yang nggak mengenakannya.
Aih, jadi ingat di beberapa negara bagian di Jerman. Di daerah tempat kami tinggal, dulu sekali hanya boleh berduaan, sekarang boleh bergerombol sampai 10 orang. Yang melanggar bisa kena denda 120 euro atau Rp 1.920.000,00. Daripada lupa atau kena denda, lebih baik memang tinggal di rumah saja kalau nggak kepaksa sekali keluar rumah. Aman.
Belajar (disiplin) pakai masker, yuk
Sekarang ini sudah beda, agak longgar karena "New Normal." Mulai Senin, 15 Juni 2020, anak-anak SD sampai kelas 8 mulai dicoba pemda untuk kembali ke sekolah. Karena kelas selalu dibagi dua supaya ada jarak 1,5-2 meter, anak-anak kami baru mulai masuk tanggal 22 Juni 2020. Jika nanti ini mengakibatkan grafik jumlah pasien corona naik secara signifikan, maka peraturan akan dikaji ulang.
Namanya anak-anak, kalau nggak dilatih bisa sembarangan. Makanya, ada ide mengiyakan ajakan Kompasianer Eberle untuk pergi ke Konstanz pas weekend. Yup, mengajari anak disiplin pakai masker! Hayoook.
Oh ya, Kontanz adalah sebuah kota universitas berpenduduk hampir 300.000 orang. Salah satu universitas di sana, juga memiliki jurusan bahasa Indonesia. Bahkan juara pidato berbahasa Indonesia di KBRI Berlin beberapa kali dari universitas di Konstanz.
Kota yang memiliki keindahan danau Bodensee itu juga punya kekayaan flora seperti anggur, apel, stroberi, ceri dan lainnya. Bayangin ladangnya saja, mata sudah manjahhh. Nggak heran lah karena daerahnya ada di ketinggian 400 di atas permukaan air laut. Dibandingkan dengan daerah kami yang 700-900 meter di atas permukaan air laut, di sana sungguh daerah yang hangat dan pasti jadi magnet wisatawan. Ada gula, ada semut.
Ketika berada di sana, cuaca bagus jadinya rame sekali di sekeliling kami. Ada yang bersepeda, jogging, jalan-jalan, naik boat, naik becak air, naik kano, naik kapal, duduk-duduk, berjemur dan masih banyak kegiatan yang terlihat. Tetapi ....
"Corona sudah pulang kampung." Seru saya ketika melihat nggak ada seorangpun yang kami lihat di sana memakai masker.
"Ya, memang begitu dari dua minggu lalu. Makanya teman dari Afrika sampai ketakutan keluar rumah, jangan-jangan ketularan sakit atau jadi carrier karenanya." Jawab mbak Kris.
"Yahhh, maksudnya ke kota buat ngajarin anak-anak disiplin pakai maskerrr malah begini" Jidat saya tepuk sekali saja.
"Kan nanti ke mall Lago sama restaurant. Nah, di sono baru wajib." Tambah teman baik saya yang cantik itu.
Anak-anak mengangguk. Mereka melepas masker karena hanya saya saja yang pakai dan nggak tahan. Orang-orang yang berlalu-lalang nggak ada yang menggunakannya. Saya pikir mungkin mirip dengan keprihatinan orang yang melihat orang pakai masker tapi nggak bener. Misalnya yang hidungnya ketinggalan lah, yang hanya dagunya yang pakai masker, keningnya yang dimaskerin atau dicentelin di salah satu telinga saja. Nggak ngaruh.
Meskipun begitu, masker tetap menghiasi wajah saya. Dan komentar dari orang-orang di sekitar?
"Pssst, ada mode asesoris baru." Bisik rombongan yang berpapasan dengan kami. Ih sebel sekali dibilang punya asesoris baru tapi cemas jika masker saya copot. Pura-pura nggak denger, saya berlalu, berharap ajaran disiplin pakai masker pada anak-anak kami bisa dicontoh.
Wajib masker hanya di tempat tertentu
Barang-barang sudah ditaruh flat. Makan siang tadi juga sudah, lega rasanya.
Nggak kerasa, kami yang dari flat jalan kaki di bawah terik matahari sudah sampai LAGO. Itu mall yang ada di Konstanz, deket stasiun kereta api. Hiks, jadi ingat Semarang, di sana mall nya banyak. Biasa buat relaxing pas weekend.
Di sini ada satu til, itu saja jauuuuh banget dari rumah. Ada baik-buruknya, sih. Bisa hemat nggak shopping mulu. Nggak enaknya, jarang lihat kerumunan. Paling banter lihat flora dan fauna di sekitar rumah kami, yang satu jam dari Konstanz.
Balik soal corona. Betul sekali kata mbak Kris bahwa waktu masuk mall, harus pakai masker seperti yang tertera pada kaca pintu masuk. Memang nggak ada petugas yang memeriksa, semua pengunjung disiplin pakai masker atau enggak. Eh? Begini gaya "New Normal" Jerman?
Tanpa ba-bi-bu, kami masuk toko baju H&M. Anak-anak sudah girang. Sejak Maret nggak pernah masuk toko baju, berarti sudah 3 bulanan. Namanya ABG, tahu dong pengen gaya. Apa nasihat saya buat anak-anak? Harus belajar dari masa karantina bahwa baju banyak nggak bakal berguna karena harus tinggal di rumah saja. Semua cuma koleksi lemari dan sia-sia belaka. Nggak usah beli, cuci mata aja.
Baru sepuluh menit, anak-anak sudah megap-megap. Katanya mau kehabisan nafas karena masker operasi yang mereka pakai nggak bikin nyaman menarik nafas dan menghembuskannya di dalam toko.
Supaya nggak pingsan, saya mengajak mereka duduk di bangku seberang toko, yang disediakan. Terlihat desain kursi khusus, yakni jarak antara satu kursi dengan kursi satunya, satu meteran. Kami minum seteguk air dari botol di tas saya. "Srrrrttt," lega.
Yailahh, ini baru latihan sudah nggak kuat. Bagaimana dengan kenyataan kalau mereka harus berada di sekolah? Istirahat saja minimal 15 menit dua kali? Harus pakai masker? Belum di luar gedung sekolah sampai rumah dan di dalam bus. Harus pakai masker juga. Ah, dasar anak-anak.
Mereka masih juga nggak mengerti, lantas saya ceritakan tentang bagaimana ketidaknyamanan para petugas medis yang harus seharian pakai dan setiap hari lagi! Makanya di rumah saja, lebih bebas, lebih nyaman, nggak pakai masker.
Sepulang dari mall, hari sudah sore. Kami meletakkan barang belanjaan ke kamar, baru mencari restoran buat makan malam. Berjalan kaki dari kanan ke kiri, kami kembali lagi ke flat. Di sebelah flat ada Pizzeria, rumah makan yang menyajikan makanan ala Italia. Anak-anak suka. Cuma tadi lupa pesan tempat, halah. Namanya Jerman, sudah kebiasaan kalau mau bertemu teman, kenalan, dokter, restoran atau cafe, harus pakai janjian. Nggak bisa asal datang, takutnya penuh.
Beruntung sekali waktu tanya pelayan, kami boleh masuk resto Italia itu meski nggak nelpon pesan tempat duluan. Kami pun dipersilakan duduk.
Di gang masuk tadi, ada tulisan kewajiban pakai masker dan mencuci tangan pakai disinfektan sebelum masuk. Ketika meraih meja, kami baru boleh melepas masker. Hanya pelayan saja yang selalu pakai masker, nggak dibuka.
Ada satu pelayan berhidung mancung yang saya perhatikan. Ooo ... hidungnya masih nongol. Pasti bukan karena tidak cukup maskernya, melainkan karena pengap seharian kerja wara-wiri nggak bisa nafas. Ya, udah dibuka, deh maskernya. Lantas minum, nunggu, makan dan SMP (selesai makan pulang).
***
Selain di toko, mall dan restoran, di beberapa negara bagian Jerman sudah menetapkan masker wajib dipakai juga di dalam kendaraan umum dan di gedung lain yang tertutup. Enggak perlu pake face shield seperti aturan di bumi nusantara.
Memang nggak ditulis bahwa ketika berada di tempat terbuka harus pakai masker. Penduduk hanya disarankan menjaga jarak 1,5-2 meter saja, cukup. Barangkali itu sebabnya, di mana-mana banyak orang keluar rumah alias berada di tempat umum tanpa menutup hidung dan mulut dengan masker. Ngeri banget saya melihatnya. Apakah itu asli, benar-benar aman? Tanya saja pada ahli virus, virologie.
Seorang teman Indonesia yang tinggal Muenchen yang melihat story Instagram saya selama di Konstanz juga berkomentar. Di kota tempat ia merantau, pemandangan seperti itu biasa. Kota yang menjadi pusat Oktoberfest atau pesta bir sampai pagi itu menggambarkan "New Normal" tanpa wajib masker di luar ruangan. Masak, sih? Kok, bisa?
Tambah geleng kepala karena ketika menilik lagi keadaan kota kami, Tuttlingen ... kok, sama saja. Hanya segelintir orang yang tetap pakai masker, lainnya nggak pakai seperti waktu zaman sebelum ada corona.
Horor, teman-teman .... artinya, di beberapa kota di Jerman tersebut, orang nggak harus pakai masker pada masa "New Normal." Memang sistem kesehatan, dokter dan layanan kesehatan di Jerman nomor wahid dan dijamin tapi tetap saja kekhawatiran tetap ada kalau semua orang nggak pakai masker ketika keluar rumah dan kita sendiri yang pakai.
Saat ini orang Jerman sedang ribut mendownload app corona. Supaya orang tahu apakah tadi waktu keluar rumah berdekatan dengan orang yang positif corona, meski sudah berjarak 2 m. Bluetooth dari telepon genggam akan mengirimkan informasi tersebut, walaupun penderita coronanya anonim. Jika memang itu terjadi, segera periksa ke dokter untuk rapid test atau swab. Karena nggak tahu apakah kita kebal atau nggak terhadap virus covid19 saat badan masih sehat walafiat.
Ya udah, semoga saja jumlah pasien corona di Jerman setelah berlakunya "New Normal" nggak bertambah, nggak ada corona seri II atau corona gelombang kedua. Sampai hari ini jumlah pasien corona adalah 188.000 dengan 8875 orang meninggal dunia.
Beda, ya dengan di Indonesia? Pada masa "New Normal" masih terlihat orang memakai masker di mana-mana walaupun nggak berada di dalam ruangan tapi di luar. Entah karena sadar diri melindungi diri sendiri dan orang lain atau gara-gara takut, bagusss! Eh, beneran pada pakai masker? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H