Pro dan kontra tentang peringatan 40 hari adalah hal yang biasa. Yang penting, tetap harmonis dalam hidup bersama di dunia.
Teman-teman, selain mengamati nasi tumpeng, snack dan dos isi nasi berkat yang ada di meja, mari kita tengok acara tahlilan yang sudah siap dijalankan.
Jamaah masjid Al-Falah yang hanya beberapa langkah dari rumah orang tua kami telah siap duduk di kursi yang telah didesain sesuai zaman new normal. Mereka tampak rapi dengan pakaian sehabis sholat, rata-rata dengan baju koko-kopiah-sarung. Tentu saja masker adalah wajib karena masih dalam masa pandemi dan supaya saling menjaga.
Senang meneliti gambar satu demi satu dari para tamu yang hadir untuk membacakan doa untuk bapak. Selain jaraknya 1,5 meteran, semua pakai masker dan tertib. Sebelum masuk ruangan balai, tadi sudah cuci tangan dengan air mengalir dan sabun di depan rumah. Satu yang tak luput dari pengamatan saya, yakni peringatan di layar utama "Cukup dengan ucapan, tidak berjabat tangan."
Doa dipimpin seorang imam. Keluarga kami mendampingi di meja paling depan. Setelah doa selesai, semua pulang dengan membawa berkat.
Tamu shift kedua adalah tamu dari Swagotra. Mereka berpakaian lengkap, busana Jawa dengan warna hitam atau gelap. Tentu saja masker menutupi mulut dan hidung. Para cantrik istilahnya "Mengeti 40 dinten surutipun Rama Drs. RM Setyadji Pantjawidjaja amarengi hari Tumpak Manis Magut Ratri Radhite Jenar 30 Mei malem 31 Mei 2020" atau memperingati 40 hari meninggalnya bapak kami yang bertepatan dengan hari Sabtu (Legi) malam (Ratri) Minggu (Radhite) Pahing (Jenar), 30 Mei 2020.
Gambaran acaranya, dimulai dengan memutar gending-gending Jawa sebagai pengucap selamat datang para tamu yang satu-persatu mengisi daftar hadir, mengambil souvenir berupa buku dan sindur.
Begitu semua duduk dan lengkap, prakata dari beberapa murid mengalir. Tembang macapatan yang diajarkan bapak bertahun-tahun yang lalu, mulai berkumandang di ruangan dari sebuah layar video. Isinya ada yang menyayat hati mengenang almarhum. Lengkingan suara masing-masing membuat bulu kuduk yang mendengar, mampu berdiri.
Pemotongan tumpeng dipimpin salah satu murid, kakak sulung dan ibu kami mendampingi. Nasi gurih yang biasanya dimasak dengan bumbu serai, daun salam, percikan garam, santan kelapa dan air ditemani lauk pauk seperti ingkung, ayam besar yang dimasak dengan bumbu sedap ala Jawa bikinan tetangga. Ada juga sayuran (tomat, ketimun, terong, salat hijau), tempe, tahu dan telur yang mengelilingi tumpeng yang ditaruh di atas tampah berbentuk lingkaran terbuat dari bambu dan dialasi dengan daun pisang yang ditata sedemikian rupa (menyerupai gerigi).
Tumpeng pun dibagi-bagi ke hadirin yang ada di ruangan yang biasa juga dipakai untuk PAUD itu. Kripik gedang, kripik tela. Sitik edang, waton rata. Keripik pisang, keripik ketela. Semua dapat sedikit, asal rata. Usai makan bersama dan akan pamit, para tamu foto bersama sebagai kenang-kenangan.
Apa tanggapan orang asing terhadap tradisi 40?