Maklum, di Jerman, banyak orang tua yang membiarkan anak-anaknya yang sudah 18 tahun untuk hidup sendiri di flat kecil atau kota lain untuk merantau. Entah itu kuliah, training atau bekerja, silakan.
Guru serba salah karena kalau dipikir benar juga apa kata si ibu tapi dalam masa sulit seperti ini, anak-anak tetap butuh dukungan banyak pihak, khususnya dari keluarga. Mana ada anak yang sebenarnya mau ditimbuni tugas bejibun gara-gara masa karantina di rumah saja? Mereka lebih memilih ikut pelajaran seperti biasa.
Untungnya, masalah terselesaikan setelah si anak memperlihatkan buku-buku di mana ia mengerjakan tugas.
Selain punya record sering bolos, jarang ngerjain PR, juga sudah coba minum alkohol dan merokok padahal umurnya baru saja beranjak 14 tahun ini. Jadi selama homeschooling, orang tua si anak tetap harus check-recheck
Jerman memberi izin bagi setiap remaja yang sudah berumur 18 tahun untuk mengkonsumsi barang-barang yang bikin tergantung tadi. Sebabnya pasti karena efek buruknya kesehatan yang akan dialami yang bersangkutan jika sudah kenal barang tersebut.
Kompasianer, perhatian guru terhadap muridnya nggak hanya dicontohkan guru dari Jerman. Sepertinya sudah diperlihatkan pula oleh guru-guru di Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu, saya melihat seorang guru perempuan menjemput muridnya yang nggak punya hubungan internet tapi harus mengerjakan tugas. Dengan jalan yang kecil dan jauh, ibu guru rela jauh-jauh memberikan bantuan supaya proses belajar lancar. Oh, sungguh mulia seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa, seperti para petugas medis di masa corona.
Kalau semua guru seperti itu, bagaimana nggak bahagia murid-muridnya dan semangat belajarnya sampai langit sap tujuh.
Sekarang, saya ingin mengingatkan para orang tua di rumah untuk tetap mengawasi kelancaran dan kesuksesan homeschooling dan controlling-nya sesibuk apapun, sesulit apapun. Kalau para guru harus berjuang sendiri, kasihan. Jangan-jangan nanti ikut bilang #terserah. Payah, kan? Jangan sampai, deh.
Salam sehat dan bahagia selalu. (G76)