"Buk, daftar tugas Chayenne sudah dikirim ke wali kelas, belum?" Weekend lagi enak-enak duduk di sofa, suami mengagetkan saya.
"Lho, kemarin aku suruh dia ke bawah buat scan dan kirim ke emailmu. Supaya nanti dikirim lewat gmail." Perasaan saya sudah mengatur bahwa tugas terkirim.
"Yahhh, papa lupaaa." Anak perempuan yang mendengar percakapan kami ikut nimbrung.
"Enggak, sudah, kok." Suami saya ngecek Microsoft outlook. Ternyata ia sudah mengirimkan scan tugas ke guru. Aman. "Punya Shenoa sudah?" Suami saya ngecek lagi. Takut ada yang terlewat.
"Sudah." Si ragil yang merasa namanya disebut-sebut, menjawab singkat.
Begitulah kira-kira diskusi singkat kami kalau weekend. Maklum dengan homeschooling, selain ada teleconference, ada juga tugas seabrek dari guru-guru yang harus dikerjakan anak pada pagi hari dan dikumpulkan pada akhir pekan lewat surel. Sebagai orang tua, percaya pada anak itu perlu tapi kontrol lebih baik. Betul?
Jadinya, mengontrol apakah mereka sudah mengerjakan tugas setiap hari dan mengumpulkan setiap minggunya pada guru wali kelas adalah baik. Itu juga lambang perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak, yang rasanya makin dekat dan harmonis saja selama masa corona.
Namun, saya juga paham kalau ada orang tua yang nggak punya waktu karena harus sibuk bekerja atau memang merasa bahwa itu adalah tugas dari anak yang sudah besar, dirasa sudah bisa mandiri. Mereka harus belajar bertanggung-jawab pada tugas untuk masa depannya.
Seperti cerita anak kami. Ia curhat bahwa temannya baru saja kirim pesan whatsapp. Isinya tentang sidak dari guru wali kelas karena ia lupa mengirimkan daftar tugas yang sudah dikerjakannya selama seminggu.
Ketika bertemu di depan pintu, kebetulan sang ibu yang membukakannya. Uneg-uneg sang guru yang ganteng itu ditanggapi dengan santai. Kata si ibu, itu adalah tugas sekolah anak.
Sebagai orang tua, ia nggak mau ngurusi. Kalau diurusin terus, anak nggak dewasa, nggak ngerti tugas, nggak ngerti tanggung-jawab. Bagaimana ia bisa hidup mandiri nanti?