Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Enak Lebaran di Indonesia atau di Jerman?

24 Mei 2020   23:12 Diperbarui: 24 Mei 2020   23:20 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebaran tahun ini di rumah saja(dok.Gana)

Idul Fitri yang berkesan? Di Indonesia atau di Jerman, sih?

Kompasianer, kayaknya lebih baik lebaran di negeri sendiri, daripada lebaran di negeri orang. Itu opini saya awal-awal tinggal di Jerman. Wajar karena di tanah air, perayaan lebaran sangat megah. Maklum, bukankah mayoritas masyarakat Indonesia pemeluk agama Islam.

Dan lagi, tradisi mudik atau pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga, sanak saudara dan kerabat biasa terlihat di sana-sini. Meskipun sekarang masa pandemi dan ada pembatasan, tetap saja nuansanya masih lekat dengan lebaran. Nggak bisa ketemu orang-orang tercinta, bisa pakai medsos atau gawai beraksi. Terhubung! Lihat saja Mbok Minto-nya si Ucup Klaten. "Jangan mudik dulu, ya."

Berbeda dengan di Jerman, di mana mayoritas penduduknya beragama Katolik, yang artinya tidak merayakan Idul Fitri. Pesta demi merayakan akhir ramadan atau disebut sebagai Bayram atau Zuckerfest oleh warga pendatangnya dari Turki, memberi warna agama Islam di negara yang banyak memiliki gereja bergaya barok di setiap sudutnya itu. Hanya golongan minoritas saja yang menikmati lebaran. Gaungnya nggak seheboh di nusantara.

Namun, tahun demi tahun rasa sedih, pedih dan rasa nggak enak lainnya terkikis. Kata peribahas, alah bisa karena biasa. Terbiasa dengan keadaan yang serba terbatas, serba nggak mudah, serba mandiri, akhirnya menemukan hikmah merayakan Idul Fitri di negara orang.

Kuker nastar dan kastengel bikinan sendiri (dok.Gana)
Kuker nastar dan kastengel bikinan sendiri (dok.Gana)
Hore, bisa bikin kuker putri salju (dok.Gana)
Hore, bisa bikin kuker putri salju (dok.Gana)
Kalau nggak tinggal di Jerman nggak bisa manggang kek lebaran

Memanggang kue basah dan kue kering adalah salah satu keahlian wanita Jerman sejak zaman nenek moyang. Karena ini seperti sebuah keharusan, saya jadi bisa membuat kue. Padahal kalau di Indonesia, tinggal nyebrang ke toko roti atau bakery, terjadilah pertukaran uang dengan makanan yang saya pilih.

Di Jerman mana bisa? Sekali adapun harganya mahal.

Sama halnya dengan lebaran. Dulu saya biasa membeli kue kering di Matahari atau toko Ada  beberapa hari menjelang lebaran. Senang rasanya, lebaran jadi sah karena kuker ada di meja menemani makanan kecil lainnya seperti kacang goreng dan emping.

Sekarang di Jerman, ya nggak ada yang jual lah.  Seperti cerita saya, ada salah satu kek yang mirip dengan kuker putri salju adalah Vanile Kipferle. Itu hanya bisa dijumpai pada saat natal atau pada bulan Desember. Yah, sekarang bukannya bulan Mei?

Ya sudah, saya bikin sendiri sama anak-anak, deh. Paling sebel lihat suami riwa-riwi mencolek adonan yang selesai diaduk atau mengambil kek yang baru saja keluar dari oven. Ih, nggak bisa nunggu.

Dimulai dari kek putri salju, nastar, baru Kastengel. Kalau sudah matang, kuker saya sembunyikan di gudang makanan. Jika ditaruh di meja, bisa amblas sebelum lebaran tiba. Bikinnya kan 3 hari sebelum lebaran, capek deh.

Awalnya berbagai resep sudah pernah saya coba dari tahun ke tahun. Resep yang paling pas, biasa saya print dan ulangi lagi. Oalah, saya baru tahu, orang Jerman nggak suka pakai milk powder atau bubuk susu untuk membuat kek. Mereka memilih susu segar. Waduh, walhasil kukernya agak lembek lah.

Yang terpenting dari pengalaman membuat kuker lebaran sendiri bukan beli adalah, saya jadi tahu kandungan atau isi dari kuker. Selain lebih sehat, hemat juga bangga dengan buatan sendiri.

Warung bu Gana, tidak menerima pesanan (dok.Gana)
Warung bu Gana, tidak menerima pesanan (dok.Gana)
Kalau nggak tinggal di Jerman nggak bakal bikin opor ayam telur dan sambal goreng

Supaya segar, saya biasa memasaknya setelah berbuka puasa di hari terakhir. Selain nanti bisa mencicipi, sembari ngabuburit lah. Namanya juga maghrib baru pukul 21.07. Lama. Supaya nggak boring, melakukan sesuatu yang menyenangkan akan mengelabui rasa jemu.

Bagian sayap dan kaki ayam adalah favorit saya untuk dimasak sebagai opor ayam. Telur ditambahkan bagi mereka yang nggak makan daging.

Seingat saya, sewaktu tinggal serumah dengan ibu dan keenam saudara saya, ibu yang memasak opor. Begitu pindah rumah diboyong suami, opor ayam dihidangkan asisten rumah tangga. Jika mereka pulang kampung, kami beli jadi. Idih, malas banget, ya. Malu-maluin. Tetapi kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit? Bisa beli dan murah, beli aja. Hehehe.

Di Jerman pasti nggak ada yang jual. Ya, udah bikin sendiri. Bisa, kok. Cepat dan mudah. Tinggal menumbuk semua bumbu seperti bawang merah, bawang putih, lada, ketumbar, kemiri, sereh, lengkuas, jahe, garam lalu digongso. Menambahinya dengan santan kental dan air, baru memasukkan daun salam dan daun jeruk, aduk-aduk. Setelah itu masukkan daging ayam, aduk-aduk.

Sebagai teman opor ayam telur ada menu sambal goreng ati. Makanan yang agak pedas karena memasukkan cabai merah itu juga sudah saya masak setelah opor matang.

Jadi hari Minggu tinggal diangetin.

Lebaran tahun ini di rumah saja(dok.Gana)
Lebaran tahun ini di rumah saja(dok.Gana)
Makan bersama keluarga dan teman dekat juga asyik

Selama merayakan lebaran di Jerman, beberapa kali saya undang tetangga kanan-kiri. Di waktu lain, mengundang teman-teman senam. Pernah juga sekali makan dengan pengungsi dari Suriah, Iran dan Afrika. Mereka bilang opor ayam telur dan sambal goreng itu kuliner yang bikin lidah bergoyang. Wah, pas dengan lidah orang asing, nih.

Alexa lapor kalau hari Minggu cuaca nggak begitu hangat, yakni hanya dengan temperatur tertinggi 14 derajat dan temperatur terendah 4 derajat. Aduh, kalau 4 derajat sudah bisa mendatangkan salju alias dingin, dong.

Selain meja panjang di teras rumah alias di luar, kami siapkan meja panjang di dalam rumah. Agak repot memang tapi demi sedia payung sebelum hujan. Dan agar tamu  nyaman menikmati penganan. Mulai dari camilan kecil, kuker sampai makan besar. Sambal, kerupuk dan rempeyek nggak boleh lupa.

Tahun ini, kami betul-betul menikmati lebaran dengan makan bersama keluarga teman dekat dari Indonesia. Benarlah, pada hari Minggu waktu mereka datang, kami harus makan di dalam rumah saking dinginnya. Oh, ya, pemerintah Jerman sudah mulai memberikan kelonggaran sejak minggu ini untuk pergi ke restoran dengan meja berjarak 1,5 meter dengan meja lainnya dan bertemu dengan keluarga lain dalam hitungan jari. Bahkan gereja sudah dibuka untuk misa dalam jumlah kecil, jarak antara jemaah 1,5 meter. 

Tuh, kan. Saya nggak perlu sedih, meski lebaran kali ini, lagi-lagi nggak bisa mudik tetapi rupnya makan bersama keluarga dan teman dekat juga asyik. Dalam kata lain; tak ada keluarga, teman pun jadi. Jika tetangga adalah keluarga yang terdekat, teman adalah saudara yang tersayang.

Idul Fitri yang luar biasa tahun 2020

Tahun 2020 menjadi masa yang istimewa karena terpilih sebagai tahun pandemi yang konon datang per 100 tahun sekali. Virus Covid19 menyebar ke seluruh duni tak terkecuali Jerman dan Indonesia. 

Lantas kesan utama Idul Fitri kali ini apa dong? Ada, sholat Idul Fitri lewat streaming. Undangan dikirim KJRI Frankfurt lewat instagram. Sholat sunah setahun sekali itu dilaksanakan pada hari Minggu, 24 Mei 2020 di rumah saja.

Siaran live pada pukul 08.30 berupa panduan shalat Ied dan 08.45 menampilkan khutbah Idul Fitri oleh Ustad Akhwaf Habiburrahman Lc. Link yang harus dituju adalah www.masjidindonesia.de/ied.

Pesan-pesan baik disampaikan di sana. Manusia memang tempatnya salah tapi nggak harus berhenti untuk memperbaiki diri. Semoga masih bertemu ramadan-ramadan yang lain. 

Keistimewaan lain pada lebaran tahun ini adalah saya lebih banyak waktu membaca tafsir Al-Quran ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Dulu-dulu biasa membaca al-Quran, bahasa Arab saya nggak ngerti artinya.

Begitu tahu isinya, banyak hal yang saya ingat kembali karena kemarin-kemarin lupa. Manusia memang bukan makhluk sempurna tapi tetap beruntung diberi akal budi yang lebih tinggi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sungguh kesan yang indah.

Baiklah. Selamat merayakan lebaran di manapun Kompasianer berada. Mohon, maafkan saya jika ada salah dalam perkataan pada tulisan-tulisan saya. Semoga kita semua kembali fitri, membuka lembaran baru untuk diisi kebaikan-kebaikan sampai ramadan kemudian. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun