"Tut-tut-tut ... tut-tut-tut" Nada panggilan facetime dengan tulisan "My Minie" berdering. Konsentrasi mengerjakan tugas dari pak bos, pecah!
"Mini, ada apa, sayang? Belum tidur, cantik?" sapa Farid. Matanya menatap Mini yang sudah memakai daster batik, tergolek di tempat tidur.
"Kamu pasti sedang sibuk, seperti biasanya. Kamu lupa telpon aku hari ini. Kamu sudah janji." keluh Mini.
Farid harusnya tahu adat istrinya, yang ingin agar ia rajin menelpon istri layaknya orang minum obat. Sehari dua kali; pagi dan malam hari. Sekali lupa, Mini bakal berprasangka yang tidak-tidak.
"Oh, maafkan aku, sayang. Aku baru saja tiba di kosan dan ini ada tugas yang harus selesai, buat breaking news tentang hilal." Farid menepuk keningnya sekali.
Matanya mengarah ke sebuah cangkir. Ia menyeruput kopi yang hampir saja dingin. Jika saja ia serumah dengan istrinya, ada camilan gorengan yang akan dikudapnya. Pisang goreng, ketela goreng, bahkan rempeyek yang akan dibuat istrinya, di dapur kecil rumah kontrakan mereka. Ya, khusus hanya untuknya.
"Kamu nggak kangen aku, mas," selidik Mini. Mukanya tampak kusut. Istinya mengacak rambut yang nggak kutuan apalagi ketombean.
"Pasti, pasti aku kangen kamu, sayang, tapi aku harus kerja. Kamu tahu, kan. I love you." Farid mencoba menenangkan Mini. Ia nggak mau istrinya menduga ia jahat dan mikir yang enggak-enggak. Ia juga sih, yang salah, seharian ini lupa telpon.
"Ah, kamu, tukang ngrayu." Mulut Mini agak maju. Ia kadang sangsi apa yang dikatakan suaminya benar atau hanya gula-gula. "Mas, di sini mendung." Setelah beberapa saat hening. Mini angkat bicara lagi. Desahannya membuat Farid kangen ingin pulang. Tapi ia nggak bisa pulang karena PKM dan istrinya tinggal di daerah PSBB.
"Tapi mendung nggak berarti hujan, kan, say." Farid menggoda Mini, berharap jarak yang memisahkan mereka bukan alasan untuk meratapi diri. Semua sedang diuji, harus sabar.
Dalam artikel-artikelnya, Farid banyak menyoroti kebandelan masyarakat yang tidak mematuhi peraturan pemerintah. Ia pengen semua masyarakat bersatu melawan corona, nggak seenak perutnya sendiri. Nggak bikin "nila setitik rusak susu sebelanga." Nah, sekarang masak ia sendiri harus ngotot pulang buat ketemu istri tercinta? Nggak pas dengan idealisme yang diusungnya selama ini.