"Bisa ditambah Puderzucker." Kata kakaknya si bungsu. Ia pun mengambil gula halus dari rak dapur.
"Hmmm ... lagi, boleh?" Suami saya sekali ham, sudah habis. Ia tahu, saya membuat 5 porsi.
"Iya, tapi jangan kebanyakan nanti bisa mules." Saya tahu sekali rasanya kalau seharian nggak puasa, lalu kalap makan banyak sampai piringnya menggunung. Paling aman, makan sedikit dulu biar perut nggak kaget. Istirahat, nanti lagi setelah sholat atau setengah jam lagi. Suami saya juga beberapa kali ikut puasa menemani saya. Anak-anak hanya setengah hari, puasa bedug.
Kompasianer, sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang orang Jerman bahwa Pfannkuchen ini biasa disantap pada pagi hari untuk sarapan atau ketika acara "Kaffe trinken", ngopi sore-sore. Namun, kali ini, nggak ada salahnya menempatkannya sebagai menu berbuka puasa di bulan ramadan. Berada di Jerman, saya nggak bisa selalu bilang, "Nggak makan nasi, berarti belum makan." Pola makan dan menu masakan yang identik dengan tempat saya merantau lambat-laun mulai teradaptasi. Dengan menambahkan apel pada menu masakan berbuka puasa, inshaallah penyakit minggir.
***
Bagaimana? Sudah ngiler hanya dengan menonton gambarnya saja? Coba kalau menggigit Apfel-Pfannkuchen atau pancake apel ini, hmmmm. Penasaran, kannn? Silakan mencoba menu di atas dan rasakan kelezatannya. Mudah dan cepat, kok. Sebagai makanan pembuka saat berbuka puasa, ini cocok karena rasanya manis dan nggak bikin eneg.
Selamat berbuka puasa dengan Pfannkuchen isi apel. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H