Puasa di Jerman? Omaigot, setelah tinggal di negeri Mercedes itu, saya baru tahu bahwa di daratan Eropa, puasanya lebih panjang dari Indonesia yang biasanya 12-13 jam. Jerman, salah satu daerah EU rupanya memiliki waktu 17-19,5 jam berpuasa tergantung musim apa dan ada di negara bagian mana.
Maklum, Jerman memiliki 4 musim (musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur). Di musim panas, puasanya semakin lama karena matahari terbenam juga lebih lama. Begitu pula sebaliknya di musim dingin, puasanya lebih pendek 1 jam-an sebab matahari cepat terbenam.
Nah, saking lamanya berpuasa, saya harus tetap menjaga kesegaran tubuh supaya nggak melungker lemes di kasur saja seharian.
Sebenarnya kesehatan badan dari dalam bisa diimbangi dengan makan sahur dan berbuka yang cukup. Kalau kebanyakan, malah sakit perut. Sebagai tambahan, saat buka dan sahur itu, saya banyak minum air putih dan minum teh hangat dan manis madu hanya satu gelas sehari. Terlalu banyak minum kopi atau teh, saya khawatir akan banyak cairan dalam tubuh yang terserap sampai dehidrasi.
Meskipun demikian, olah raga tetap harus dilakukan. Apa saja olahraga yang aktif saya lakukan entah bersama-sama atau sendirian selama bulan ramadan?
Demi kesehatan dan kebugaran tubuh selama berpuasa, saya suka ajak keluarga berjalan kaki mengelilingi kampung pada sore hari dan ngabuburit di hutan beberapa jam sebelum berbuka.
Kampung kami dikelilingi hutan dan gunung. Daerah hijau yang masih memungkinkan kami untuk keluar rumah demi berolah raga.
Seperti anjuran kanselir Jerman, berolah raga di luar rumah di masa corona boleh, asal hanya berdua saja atau sekeluarga yang serumah saja. Sejak hari ini, berkumpul atau berolah raga boleh dengan satu keluarga lainnya.
Oh, ya. Mengelilingi kampung itu selain sehat juga asyik. lho. Kami jadi tahu apa perkembangan di sekitar rumah; ada berapa rumah baru, siapa yang baru pindah, siapa yang punya hewan piaraan lucu, ladang apa yang akan panen petani dan tanaman apa saja yang sedang mekar di pekarangan rumah tetangga. Di masa social distancing dan physical distancing, berita tetap up to date.
Tapi kami ingat, jalan kaki kami bukan seperti rombongan pengantin yang pelan-pelan tetapi jalan cepat! Kami percaya bahwa jalan cepat akan membakar kalori (1,6 km = 100 kalori) atau lebih banyak dari jalan kaki yang model "biar lambat asal selamat." Kompasianer termasuk pejalan kaki tipe yang mana?
Kemudian, jalan kaki ke hutan lebih heboh lagi karena selain areanya lebih luas dan alami, bahkan medannya lebih menantang. Untuk mengatasi haus selama hiking tapi puasa, saya biasa menelan ludah. Cleguk!
Berolah raga massal sekeluarga menurut saya keren karena sembari ngobrol dengan suami dan anak-anak tentang apa yang mereka telah lakukan atau sedang rasakan, badan jadi sehat. Masa emas yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin karena cepat atau lambat, anak-anak akan punya dunianya sendiri. Usia manusia juga nggak abadi.
Aih ada catatan, kami membolehkan anak-anak membawa HP untuk membuat foto atau video dalam perjalanan tapi melarang anak-anak membawa earphone atau headset!
Apa lagi olah raga di rumah lainnya selama berpuasa? Sekalian mengenalkan pada anak-anak tentang olah raga bergengsi yang mencuatkan nama-nama pemain badminton dunia seperti Liem Swie King, Rudi Hartono atau Susi Susanti dari Indonesia, saya juga ikut sekalian berolah raga. Berharap bahwa di sekolah nanti, keahlian bulu tangkis mereka lebih dari anak-anak yang lain karena sering training di rumah.
Kebetulan di depan rumah kami, tepatnya di depan garasi utama ada halaman memanjang berlantai paving, yang menghubungkan dengan jalan aspal kampung. Istilahnya mirip lapangan badminton mini.
Di sanalah kami biasa olah raga badminton. Permainan bisa beregu atau satu lawan satu. Paling sebel kalau "cock" nya nyungsang ke genting rumah. Mending suruh anak-anak saja yang ambil. Sudah jadi ibu-ibu begini, hobi naik-naik nggak setegar dulu.
Waktu yang kami pilih adalah di antara waktu mengerjakan PR yakni di siang hari. Maksud saya supaya sedikit relaks dari kram otak dengan segudang tugas, main bulu tangkis dulu lalu nanti dilanjutkan. Tapi karena musim semi, kadang banyak angin. Makanya badminton hanya bisa dilakukan ketika angin tenang. Artinya, nggak bisa setiap hari.
Kebetulan puasa kali ini, Jerman lagi musim Fruehling atau musim semi, Maret-Mei. Setelah musim dingin berakhir, hari akan lebih panjang, rumput dan tumbuhan mulai bermunculan, burung-burung berkicau, langit biru, udara akan lebih hangat. Indah, ya?
Jika kalian ke Jerman, jangan heran kalau cuaca di sana itu kadang bisa gonta-ganti. Yang harusnya panas, dingin. Yang harusnya dingin, panas. Temperatur pada hari ini bisa sampai 20 derajat, besoknya sudah hujan salju meski tipis. Kemudian seminggu panas, disusul seminggu dingin. Itulah yang bisa terjadi di bulan April, turbulensi abis.
Sedangkan bulan Mei kadang ada hujan batu, "Hagel" atau "Frost", dingin mencekat sampai membuat tanaman seperti "the frozen." Itu mirip-mirip apa yang terjadi di bulan Maret, hanya saja temperatur Maret lebih rendah, yakni mulai 15 derajat.
Nah, kalau cuaca buruk seperti yang saya ceritakan tadi bagaimana? Nggak asyik kan olah raga di luar ruangan sampai kedinginan atau kehujanan? Ya, ampun, olah raga seperti jalan kaki, ke hutan atau badminton nggak bisa dilakukan, nih.
Kebetulan ada seorang kakek umur 65 tahun yang ingin menghadiahkan cross trainer-nya. Ia memasang di rubrik "zu verschenken." Karena bikin rumah sesak tapi nggak kepake, ia ingin memberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya secara cuma-cuma. Beruntung suami saya adalah orang pertama yang menghubunginya, makanya langsung dapat. Meski sudah nggak baru lagi, tapi masih berfungsi, alhamdulillah. Sebagai rasa terima kasih, kami membawa oleh-oleh untuk si kakek.
Alat ini seru, bisa memberitahu kita hasil olah raga yang kita kerjakan. Tambah semangat, deh. Oleh sebab itu, sebelum olah raga saya tak boleh lupa mengeset ulang pada posisi nol untuk time (waktu mulai), speed (kecepatan), distance (jarak tempuh) dan calories (kalori yang terbakar).
Supaya pemandangannya bagus, kami letakkan di ruang makan, tepat di depan balkon yang menghadap gunung dan gereja. Serasa berfantasi olahraga di luar ruangan, padahal di dalam ruangan.
Kompasianer sudah pernah coba alat yang mirip dengan ini? Speed bike, stepper, indoor bike, home trainer, vibration plate, mini bike, total fitness atau alat lainnya? Bagaimana rasanya? Kalau saya nggak kepaksa, sebenarnya milih jalan kaki di luar rumah saja. Tetapi apa daya nggak mau dingin menggigit kulit atau hujan membasahi tubuh, mending berolahraga di rumah saja. Cuaca buruk, cross trainer pun jadi.
***
Ingat karoshi atau fenomena yang terjadi di Jepang, di mana banyak orang meninggal karena stress bekerja? Atau orang meninggal karena kelelahan yang hebat? Semoga tidak sampai terjadi pada kita.
Olah raga boleh tapi tetap pada porsinya. Tubuh membutuhkan waktu istirahat yang cukup untuk mengumpulkan kekuatan dan energi baru untuk hari berikutnya. Seperti mesin, ia butuh dimatikan supaya nggak panas dan meledak atau terbakar secara tiba-tiba.
Mari menjaga kesehatan dengan makan-minum-tidur-olah raga cukup, memakai masker, rajin cuci tangan dengan sabun serta ... jaga jarak 1- 2 meter.
Sudah segitu saja sharing soal olahraga yang masih saya lakukan meski sedang berpuasa.
Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H