Tinggal bukan di daerah perkotaan melainkan pedesaan yang dikelilingi flora dan fauna ternyata menjadi sebuah keuntungan pada masa corona. Masa di mana semua orang sedunia harus dikarantina di rumah ini tetap memungkinkan kami bergerak di tempat terbuka.
Pemerintah Jerman tidak melarang warganya untuk berolahraga atau berbelanja asal berdua saja atau dengan anggota keluarganya. Memang social distancing dan physical distancing itu harus diperhatikan dan dilaksanakan demi meredam jumlah korban. Jika satu saja yang bandel, akan rusak susu sebelanga.
Suasana Ramadan di Jerman pasti berbeda dengan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk 81 juta orang, 1,5 juta di antaranya adalah orang Turki. Masyarakat minoritas muslim Jerman pasti bertambah dengan adanya pengungsi dari Suriah, Libanon, Afganistan dan Afrika. Artinya, mayoritas adalah pemeluk agama Katolik. Yang banyak, ya gereja. Untuk mencapai masjid termasuk jauh. Nggak seperti di rumah orang tua saya yang tinggal nyebrang.
Pernak-pernik dan ciri khas ramadan juga sangat sulit ditemukan di negeri seribu sosis ini. Mendengarkan masjid dengan suara panggilan adzan untuk melaksanakan ibadah sholat hanya angan-angan belaka. Meski pernah sekali dua kali terdengar, ini hanya mukjizat terjadi di masa corona. Bunyi adzan di larang di negeri yang dipimpin kanselir Angela Merkel. Yang paling sering berdentang adalah lonceng gereja.
Lamanya berbuka puasa juga menjadi sebuah perbedaan mencolok. Durasi 17-19 jam akan dialami orang yang berpuasa di Eropa khususnya di Jerman. Jika di tanah air hampir setiap tahun berbuka pada waktu yang sama yakni pukul 18.00, di Jerman baru pukul 20.30-20.45. Musim salju lebih lama lagi, sampai pukul 21.30 an.
Nah, rasanya memang beda ya, berpuasa rame-rame di negara sendiri dengan sendiri-sendiri di negeri orang.
Ngabuburit di hutan Jerman
Dulu waktu di Indonesia, banyak sudut kota yang menawarkan alternatif untuk menunggu waktu berbuka puasa. Di kawasan jalan pahlawan sampai Simpang Lima misalnya. Ramai sekali orang yang berkumpul di sana. Mulai dari anak-anak sampai lansia. Untuk ke masjid pun nggak terlalu jauh, jadi tetap aman untuk menjalankan sholat maghrib yang waktunya sangat pendek.
Akhir-akhir ini pasti suasana itu nggak mudah ditemukan. Corona membuatnya berbeda. Setiap orang dianjurkan untuk ngabuburit di rumah. Yang tinggal di daerah hijau lebih beruntung dari mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau kampung yang rumahnya lekat satu sama lain.
Untuk menghibur diri dan menunggu waktu berbuka puasa, nggak asyik kalau hanya duduk di sofa dan nonton TV. Ada kegiatan lain yang kami pilih yakni pergi ke hutan. Waktu yang kami pilih ke sana adalah setelah semua anak selesai mengerjakan tugas dari homeschooling, suami sudah kelar dengan kerjaannya dan saya dengan pekerjaan rumah tangga. Maka ketika meninggalkan rumah, rasanya sudah lega, plong.