Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tips Lawan Kalap Berbelanja Bahan Makanan

2 Mei 2020   20:25 Diperbarui: 2 Mei 2020   20:31 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, fenomena artinya ha-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam) seperti gerhana. Fenomena juga berarti sesuatu yang luar biasa; keajaiban atau sebuah fakta atau kenyataan.

Sengaja saya harus buka kamus dulu karena kadang-kadang merasa nggak yakin dengan  pemahaman Bahasa Indonesia saya. Maklum, berada di luar negeri, bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Jerman, baru kemudian bahasa Inggris dan terakhir bahasa Indonesia. Itu artinya, bahasa ibu kita ini sangat jarang saya gunakan, kecuali saat menulis. Pernah beberapa kali bahasanya jadi campur-campur dan wagu sekali.

Lantas, apa fenomena yang sedang trend di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya? Belanja makanan!

Mengapa? Ya, karena corona, semua orang takut tidak cukup bahan makanan ketika harus berada di rumah selama masa karantina. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan seperti belanja atau pesan online. Orang tidak akan kelaparan karena bahan makanan masih tersedia. Pemerintah pasti tidak akan tinggal diam dengan kondisi yang ada saat ini.

Beras kosong (dok.Gana)
Beras kosong (dok.Gana)
Tepung yang mahal tinggal sedikit (dok.Gana)
Tepung yang mahal tinggal sedikit (dok.Gana)
Gambaran Kalapnya Masyarakat Jerman 

Sejak minggu lalu, pemerintah Jerman sudah melonggarkan masyarakatnya untuk keluar rumah. Pasar rakyat yang biasa digelar seminggu sekali-dua kali di alun-alun kota mula digelar. Toko-toko selain toko bahan makanan yang memiliki luas bangunan kurang dari 800 kwadrat meter persegi boleh buka. Perlu diketahui bahwa sejak masa corona, toko bahan makanan, toko roti, toko daging dan apotik tetap buka. Begitu pula dengan restoran dan warung makanan, asal tamu tidak makan di tempat melainkan take away. Nggak ada gambaran orang bergerombol, nongkrong atau ngiras di warung seperti di Indonesia. Disiplin, rakyat Jerman sangat disiplin. Semua makannya di rumah saja, meski yang disantap makanan restoran.

Itu pun ada aturan harus memakai masker karena sejak Senin minggu ini adalah wajib. Jarak antara satu pembeli dengan pembeli lainnya 1,5 meter pun juga harus dipatuhi. Terakhir, satu orang, satu keranjang saja. Itu sekarang.

Berbeda dengan tanggal 16 Maret 2020 dan seterusnya, di mana masyarakat sudah mengetahui keputusan pemerintah Jerman untuk lockdown sejak hari Minggu di mana semua toko selalu tutup. Di awal minggu-minggu masa pembatasan itu, banyak orang kalap belanja makanan, bahkan kertas toilet pun dibabat habis.

Mengapa kertas toilet? Karena kebanyakan toilet Jerman kering tidak seperti di Indonesia dengan gayung air atau semprotan air untuk membersihkan bagian vital seusai BAK atau BAB. Orang Jerman menggunakan kertas untuk menghapus noda. Lah kalau harus berbulan-bulan diam di rumah dan nggak punya stok kertas, bisa celaka bukan? Makanya banyak orang yang lebih takut nggak punya kertas toilet di rumah ketimbang nggak bisa makan.

Tahukah Kompasianer? Aneh bin ajaib. Dahulu sekali, zaman orang Jerman masih dalam masa susah, banyak orang yang tidak memiliki kertas toilet, menggunakan kertas koran bekas. Lelucon yang sering muncul adalah "kotoran saya pintar/bisa baca." Meski tidak hyginies karena tinta koran mengandung bahan kimia dan berwarna hitam, masyarakat tempo doeloe tetap memakainya karena tak ada kertas toilet, kertas koran pun jadi. Buat apa susah?

Kekalapan masyarakat belanja bahan makanan terlihat dengan hilangnya peredaran tepung terigu yang layaknya beras atau makanan utama Jerman di pasaran. Tentu saja hilang karena semua diborong pembeli. Selain tepung terigu, makanan kaleng yang tahan lama banyak diserbu. Kalau saya amati, sebenarnya masih ada stok barang tersebut tapi dengan harga yang sangat mahal (dua-tiga kalinya) dan bermerk. Orang Jerman tergolong orang yang hemat, mereka ini hanya belanja barang-barang standar harga. Di antara pertemanan kami di Jerman, hanya segelintir saja yang mementingkan kualitas barang dan nggak peduli harga, tetap beli.

Sedih sekali melihat bagaimana masyarakat Jerman ribut di supermarket atau toko hanya karena rebutan mengambil bahan makanan dan kertas toilet. Sampai-sampai pihak keamanan dan staff toko turun tangan. Yang melihat saja malu, apalagi yang ribut?

Untungnya, setelah hampir sebulan, tepatnya 17 April, kondisi agak terkendali. Stok tepung terigu dengan harga standar tersedia. Namun, toko memberi regulasi bahwa satu pembeli hanya boleh 2 sak tepung @1 kg seharga 0,39 euro atau kira-kira Rp 4000.

Makanan kaleng berisi daging, sayur yang berharga standar ikut kembali tersedia.

Para lansia Jerman tergolong mandiri tetapi biasanya dianjurkan untuk tetap tidak berbelanja sendiri di masa corona sampai tiba waktunya bebas dari corona. Mereka itu bisa menitipkan pada saudara, tetangga atau sebuah klub yang mulai ngetren sejak beberapa tahun terakhir "Nachbarnschaft Verein." Lansia atau orang yang sakit dengan resiko tinggi selama masa corona tinggal memberikan daftar belanjaan dan uang kepada yang dipasrahi, habis perkara. Bahan-bahan akan diletakkan di depan pintu, setelah memencet bel pintu dan mendengar langkah dari dalam rumah. Physical distancing.

Tips Lawan Kalap Belanja Makanan

Bulan Ramadan sebenarnya tidak mempengaruhi fenomena kalap belanja makanan di Jerman. Iya karena masyarakatnya mayoritas beragama Katolik. Masyarakat Turki yang dahulu pada awal kedatangan mereka merupakan pekerja pinjaman dan tidak kembali ke negara asalnya bahkan membawa keluarganya ke Jerman sampai anak-cucu, hanya 1.472.390 orang dari 81 juta penduduknya. Meskipun sekarang banyak pengungsi dari Suriah, Afrika, Libanon dan Afganistan berdatangan tetap saja masyarakat muslim di Jerman masih minoritas. Sehingga warna ramadan tidak seheboh di tanah air.

Hanya saja karena waktunya bertepatan dengan masa corona, kesannya jadi mirip. Kalap belanja itu sekilas terlihat karena orang tidak mau terlalu sering berada di tempat perbelanjaan dan lebih baik berada di rumah dengan stok yang ada.

Ini dia tips yang telah kami praktekkan selama masa corona supaya nggak kalap belanja makanan:

1. Observasi apa yang ada di kulkas dan gudang makanan

Beberapa hari sebelum berencana untuk berbelanja, biasanya saya cek apa yang ada di dalam kulkas dan gudang. Karena kulkasnya besar, rajin membersihkannya seminggu sekali membantu untuk melihat apa yang rusak, apa yang segera usai masa kadaluwarsanya, mana yang harus segera dimasak dan mana yang nanti masih lama bisa dimasak.

Membersihkan kulkas dengan cairan pembersih khusus saya sarankan. Tak lupa, saya taruh seiris lemon di dalam kulkas supaya berbau fresh.

Sedangkan membersihkan gudang makanan atau dalam Bahasa Jermannya "Speise Kammer" biasa kami lakukan sebulan sekali. Ini bagus untuk membuatnya rapi. Misalnya golongan tepung dengan golongan tepung dalam satu kotak, group bumbu dengan bumbu dalam satu wadah, botol minuman dengan botol minuman lainnya dalam satu baris dan seterusnya. Selama pembersihan, sekalian mengecek tanggal kadaluwarsa.

2. Data dan catat apa yang dibutuhkan setiap hari secara bersama-sama

Keluarga kami yang dulu terdiri dari lima orang, sekarang tinggal empat orang. Setiap anggota berhak untuk mengusulkan apa saja yang harus dibeli selama shopping di toko nanti. Jadi nggak melulu saya sebagai sang ibu. Misalnya, ada anak yang suka pisang menulis "Banana", anak yang mau jus jeruk membubuhi "Orangen Saft", saya yang gemar makan nasi seminggu sekali menuliskan "Reis", suami yang ngefans sayuran mencoretkan tulisan "Gemuse". Itu semua terpampang di sebuah papan tulis kecil di salah satu dinding dapur. Semua bisa melihatnya dengan jelas.

3. Disiplin pada data yang ada saat berbelanja

Giliran berbelanja, kami akan datang berdua. Biasanya, dulu suka ajak anak-anak sekalian refreshing keluar rumah. Pada masa corona, toko-toko menganjurkan para orang tua untuk tidak membawa anak-anak berbelanja karena toko bukan piknik. Apalagi  anak-anak dikatakan sebagai carrier, bisa menularkan penyakit.

Selama berbelanja, kami berdua (dengan dua kepala) harus disiplin untuk mengecek data berupa foto papan di dapur. Jikapun ada barang murah dan bisa disimpan di freezer, bisa beli satu-dua saja.

Karena kami berdua, kami saling mengingatkan apakah yang saya ambil dan dimasukkan keranjang itu diperlukan atau tidak. Demikian, sebaliknya. Nggak pakai ribut, kok. Pakai logika saja.

4. Jangan belanja kalau sedang lapar

Menurut pengalaman saya, saat perut melilit di masa puasa itu siang atau sore hari. Lapar mata ini akan memicu jiwa konsumtif manusia.

Untuk itu berbelanja kami lakukan pagi-pagi sekali begitu toko buka atau satu jam sebelum toko tutup. Masa-masa itu, perut sudah merasa nyaman. Walhasil daya ngilernya agak bisa direm. Keinginan untuk membeli makanan karena perut lapar biasanya mampu dihindari.

5. Jangan bawa banyak uang cash

Selama di Jerman, saya sangat jarang membawa uang kontan. Alasannya, godaan untuk membelanjakannya sangat besar. Pengalaman itu membuat saya lebih nyaman membawa dompet dengan berisi kartu ATM yang bisa digunakan untuk membayar belanjaan.

Hanya saja jika nomor 1-4 dilanggar, no 5 ini nggak berlaku.

6. Tanamkan budaya hemat

Kata orang, bangsa Schwabisch itu pelit atau "geizig".  Kata bangsa Schwabisch sendiri, mereka ini "sparen" atau berhemat. Nah, beda kan? Tipis, sih.

Saya pikir cara hemat masyarakatnya patut ditiru. Kalau perlunya 1 kg nggak usah beli 2 kg. Selain bisa rusak nanti takut lupa nggak diolah. Atau misalnya kalau serumah Cuma orang dua, nggak usah belanja untuk orang 3, dan begitu selanjutnya.

7. Pilih harga yang murah

Yang murah nggak selalu murahan. Kualitas produk di Jerman tergolong bagus atau terjaga. Campur tangan pemerintah terhadap aturan dan bantuan terhadap petani patut diacungi jempol.

Kalau ingin membeli satu barang, ambil yang harganya murah. Tambah seru kalau ada diskon, bungkus!

Pendataan daftar belanja bersama-sama (dok.Gana)
Pendataan daftar belanja bersama-sama (dok.Gana)
***

Demikian fenomena kalapnya orang Jerman berbelanja makanan di masa corona dan tips yang sudah kami praktekkan di rumah. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun