Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, fenomena artinya ha-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam) seperti gerhana. Fenomena juga berarti sesuatu yang luar biasa; keajaiban atau sebuah fakta atau kenyataan.
Sengaja saya harus buka kamus dulu karena kadang-kadang merasa nggak yakin dengan pemahaman Bahasa Indonesia saya. Maklum, berada di luar negeri, bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Jerman, baru kemudian bahasa Inggris dan terakhir bahasa Indonesia. Itu artinya, bahasa ibu kita ini sangat jarang saya gunakan, kecuali saat menulis. Pernah beberapa kali bahasanya jadi campur-campur dan wagu sekali.
Lantas, apa fenomena yang sedang trend di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya? Belanja makanan!
Mengapa? Ya, karena corona, semua orang takut tidak cukup bahan makanan ketika harus berada di rumah selama masa karantina. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan seperti belanja atau pesan online. Orang tidak akan kelaparan karena bahan makanan masih tersedia. Pemerintah pasti tidak akan tinggal diam dengan kondisi yang ada saat ini.
Sejak minggu lalu, pemerintah Jerman sudah melonggarkan masyarakatnya untuk keluar rumah. Pasar rakyat yang biasa digelar seminggu sekali-dua kali di alun-alun kota mula digelar. Toko-toko selain toko bahan makanan yang memiliki luas bangunan kurang dari 800 kwadrat meter persegi boleh buka. Perlu diketahui bahwa sejak masa corona, toko bahan makanan, toko roti, toko daging dan apotik tetap buka. Begitu pula dengan restoran dan warung makanan, asal tamu tidak makan di tempat melainkan take away. Nggak ada gambaran orang bergerombol, nongkrong atau ngiras di warung seperti di Indonesia. Disiplin, rakyat Jerman sangat disiplin. Semua makannya di rumah saja, meski yang disantap makanan restoran.
Itu pun ada aturan harus memakai masker karena sejak Senin minggu ini adalah wajib. Jarak antara satu pembeli dengan pembeli lainnya 1,5 meter pun juga harus dipatuhi. Terakhir, satu orang, satu keranjang saja. Itu sekarang.
Berbeda dengan tanggal 16 Maret 2020 dan seterusnya, di mana masyarakat sudah mengetahui keputusan pemerintah Jerman untuk lockdown sejak hari Minggu di mana semua toko selalu tutup. Di awal minggu-minggu masa pembatasan itu, banyak orang kalap belanja makanan, bahkan kertas toilet pun dibabat habis.
Mengapa kertas toilet? Karena kebanyakan toilet Jerman kering tidak seperti di Indonesia dengan gayung air atau semprotan air untuk membersihkan bagian vital seusai BAK atau BAB. Orang Jerman menggunakan kertas untuk menghapus noda. Lah kalau harus berbulan-bulan diam di rumah dan nggak punya stok kertas, bisa celaka bukan? Makanya banyak orang yang lebih takut nggak punya kertas toilet di rumah ketimbang nggak bisa makan.
Tahukah Kompasianer? Aneh bin ajaib. Dahulu sekali, zaman orang Jerman masih dalam masa susah, banyak orang yang tidak memiliki kertas toilet, menggunakan kertas koran bekas. Lelucon yang sering muncul adalah "kotoran saya pintar/bisa baca." Meski tidak hyginies karena tinta koran mengandung bahan kimia dan berwarna hitam, masyarakat tempo doeloe tetap memakainya karena tak ada kertas toilet, kertas koran pun jadi. Buat apa susah?
Kekalapan masyarakat belanja bahan makanan terlihat dengan hilangnya peredaran tepung terigu yang layaknya beras atau makanan utama Jerman di pasaran. Tentu saja hilang karena semua diborong pembeli. Selain tepung terigu, makanan kaleng yang tahan lama banyak diserbu. Kalau saya amati, sebenarnya masih ada stok barang tersebut tapi dengan harga yang sangat mahal (dua-tiga kalinya) dan bermerk. Orang Jerman tergolong orang yang hemat, mereka ini hanya belanja barang-barang standar harga. Di antara pertemanan kami di Jerman, hanya segelintir saja yang mementingkan kualitas barang dan nggak peduli harga, tetap beli.