Dear mbak Muthiah Alhasany,
Namamu unik, Muthiah Alhasany. Kamu mengaku sebagai pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Nggak heran karena kamu banyak tahu dan pernah berada di sana. Diaspora yang tetap membawa jati diri dan belajar banyak dari wawasan baru di negeri orang. So proud of you.
Kamu tulis motomu "Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. Hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati." Manusia nggak punya umur abadi, aku yakin apa yang kamu lakukan adalah untuk kebaikan tak hanya untuk dirimu tapi orang lain. Lihatlah bagaimana kamu menyebarkan kalimat rohani dan bijak di media sosial. Teruslah begitu karena jenis manusia yang begini sudah mulai punah. Yang banyak haters dan hoaxers di mana-mana.
Mbak Mut, namamu selalu lekat di benakku karena kamu rajin ikut lomba Koteka. Seingatku tahun 2017, 2018 dan 2019. Aku yakin di tahun-tahun sebelumnya juga begitu. Itu membuktikan bahwa kamu mendukung kegiatan komunitas selain komunitas yang kamu bina. Kepedulian yang patut dicontoh kompasianer lain untuk mendukung kegiatan teman-temannya. Nggak cuek, nggak mementingkan diri sendiri saja. Bukankah itu indah?
Komunitas Traveler Kompasiana yang kami asuh sejak 5 tahun yang lalu beberapa kali memasang fotomu, entah karena kamu menang atau sebagai 10 peserta terbaik. Maklum, untuk lomba yang hadiahnya nggak pake jut-jut an, peminatnya sepi. Engkau bagai oase di padang pasir. Rajin ikut terus, ya mbak. Jangan pernah Lelah.
Kupikir, keinginanmu untuk mendukung grup yang suka jalan-jalan itu pasti karena kamu suka banget jalan-jalan dan memamerkan apa yang kamu lihat selama dalam perjalanan indah dan menarikmu. Pengalamanmu ke sana tak hanya memperkaya wawasanmu tapi juga menginspirasi orang untuk pergi ke sana selama nafas masih berhembus. Now or never.
Mbak Mut, kamu sudah lama membaca Kompasiana tapi baru punya akun pada tanggal 1 Mei 2010. Tanggal itu adalah tanggal di mana aku pertama kali berani menuliskan posting tentang hari usil di Jerman di mana orang-orang menyembunyikan atau memindahkan tong sampah dan pot di depan rumah orang ke tempat lain, seperti hari ini. Sebenarnya, aku sudah membaca Kompasiana sejak 2009 tapi baru mendaftar pada 30 April 2011. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Betul sekali katamu:
"Tidak banyak saingan sehingga tulisan pada saat itu bisa mencapai puluhan ribu viewer. Bahkan ada cerpen saya yang dibaca lebih dari 50.000 orang."
Memang pada awal Kompasiana di bawah pimpinan kang Pepih dan mas Iskandar, yang menulis belum sebanyak sekarang. Admin Kompasiana mulai melirik bibit-bibit baru yang terbaik, bukan hanya "Lo Lagi Lo Lagi" alias 4L.
Tulisan kita memiliki saingan ketat di masa mas Nurul. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi terjepit. Bagaimanapun kamu nggak peduli, tetap menulis meski yang baca dan komentar sedikit. "Don't worry." Bukankah menulis adalah relaksasi diri lalu membawa manfaat bagi orang lain. Tulisanmu akan mencari nasibnya sendiri. Tetapi sudahlah, jangan pernah patah semangat karena menulis itu sekali lagi adalah obat atau terapi jiwa diri kita.