Hari sangatlah panas, mengajak dua kurcaci berambut pirang mengunjungi sebuah masjid terbesar di Jawa Tengah itu adalah sebuah niat baik. Keinginan untuk mengenalkan mereka pada keindahan salah satu masjid di tanah air sangat bulat. Harus, mereka harus ke sana.
Bagi kami yang tinggal di Jerman, masjid jarang ditemui. Sekali ada, jaraknya jauh dan nggak boleh asal masuk. Bahkan bunyi adzan tak pernah sekalipun kami dengar, kecuali di masa corona. Sungguh keajaiban.
Kata orang Turki yang banyak migrasi ke Jerman; perempuan sebaiknya berada di rumah saja. Sangat jarang melihat kerumunan perempuan di masjid dekat rumah kami. Yang ada hanya bapak-bapak, mas-mas dan adik-adik laki-laki. Ternyata di Indonesia lebih demokratif.
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, masjid bertebaran di mana-mana. Sama halnya dengan di Jerman, di setiap sudut ada kapel, gereja dan katedral. Masyarakatnya pemeluk agama Katolik dan Kristen. Lain ladang, lain belalang. Lain negara, lain tempat ibadahnya.
Mau ke MAJT? Pengennya naik becak bisa dapat angin dan unik. Tetapi jarak dari rumah orang tua saya ke sana lumayan jauh, kasihan tukang becaknya.
Lalu bagaimana cara mencapai MAJT di Jalan Gajah Raya 30 B Semarang itu?
Ternyata Bis no R11 memiliki rute ke sana. Misalnya dari arah atas seperti Gombel; naik bis C10, C2 lalu R11. Atau dari Semarang Barat seperti Ngaliyan square; naik bis no 4, R11E lalu R11 B. Atau dari Semarang Timur seperti Taman Sari; bis C2, R11B. Karena repot harus ganti-ganti naik-turun bis, kami putuskan panggil taksi online. Di Semarang ada grab, aplikasi bisa didownload di gadget.
Tak terasa kami sudah diantar taksi dan tiba di MAJT, masjid Agung Jawa Tengah. Si bapak segera pergi, begitu transaksi berakhir. Aduh, anak-anak sudah mengeluh mau pulang. Ah, bukankah kita baru saja datang, nak?
Saya jadi ingat pesan pak Gubernur yang meminta anak-anak tidak bermain sepak bola di halaman depan masjid karena wabah corona. Berolahraga memang menyehatkan badan, namun di situasi pandemi seperti sekarang, semua sebaiknya menghindari kerumunan, memakai masker ketika keluar rumah dan atau tinggal di rumah saja. Mereka pun bubar dan meniti satu demi satu anak tangga depan masjid.
Terlihat anak-anak saya menengadahkan kepala, mengagumi menara masjid setinggi 99 meter di sana. Menara Al Husna yang digunakan untuk studio radio Dais, pemancar TV, tempat peneropongan hilal dan restoran.
Tak berapa lama, kaki-kaki mereka segera berlomba-lomba menaiki anak tangga menuju masjid. Ya Allah, senangnya melihat mereka rukun, bergandengan, berpelukan seperti tak mau lepas walau langit runtuh. Biasanya mereka seperti Tom & Jerry.
Begitu melihat penampakan masjid Agung Jawa Tengah yang benar-benar agung, mata-mata innocent mereka terbelalak.
"Wah, besar sekali!" Seru Chayenne. Masjid ukuran raksasa di tengah-tengah itu semakin megah dengan 6 payung raksasa di kanan-kirinya. Payung elektrik setinggi 20 meter dan diameter 14 meter? Magic.
"Iya, serasa di Dubai." Tambah Shenoa. Bangunan masjid itu mengingatkan mereka pada nuansa di Arab, di mana mereka pernah liburan bersama kami. Padahal arsitektur kubah berdiameter 20 meter dan punya 4 menara setinggi 62 meter itu dikawinkan dengan bangunan masjid berbentuk limas, rumah asli Jateng. Lalu pilar di seberang masjid bergaya romawi dan bertuliskan Arab mengenang 25 nabi dan rosul. Tulisan Arab dua kalimat syahadat dan "Sucining Guno Gapuraning Gusti" bisa dibaca di pilar-pilar tersebut.
Masjid Agung Jawa Tengah ini rupanya memiliki sejarah unik. Dibangun di atas tanah wakaf masjid besar Kauman Semarang telah kembali. Perjuangan untuk mendapatkan hak itu telah ada sejak 1980.
Masjid akhirnya dibangun di atas 10 hektar tanah sejak 6 September 2002 atau 28 Jumadil Akhir 1423 Hijriyah pada masa pemerintahan Gubernur Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama telah dihadiri tujuh dubes dari negara sahabat; Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina dan Abu Dhani. Sungguh sejarah yang mendunia. Dunia pasti ingat ada MAJT di Semarang.
Masjid baru selesai 14 November 2006 atau 23 Syawal 1427 Hijriyah tapi sudah digunakan sebelumnya. Peresmiannya 17 November 2006 atau 26 Syawal 1427 Hijriyah oleh bapak presiden yang menjabat waktu itu, Susilo Bambang Yudoyono.
Anak-anak tertarik dengan batu prasasti. Ada hawa ingin memegang dan merabanya. Namanya juga anak-anak, selalu ingin tahu.
"Beda dengan masjid di Simpang Lima." Chayenne mengingat lagi perbandingan masjid-masjid yang pernah kami datangi. Masjid di pusat kota juga besar, masjid Baiturahmann. Saya pernah cerita kepada mereka bahwa mamanya selama 4 tahun mengajar anak-anak TK di sana. Cerita lalu yang indah.
Ya, ya, ya, beda. Masjid yang bukan sembarang masjid lantaran punya fasilitas convention hall, hotel Graha Agung, menara Al Husna, office hall, perpustakaan, pertokoan penjualan souevenir dan tempat parkir yang luas. Mau cari apa lagi?
Masjid ini juga bersejarah, lho, lantaran pak Jokowi hadir pada tanggal 19 Oktober 2018 untuk shalat Jumat. Khatibnya Prof. Dr. KH Noor Ahmad, MA dan imam KH. Zaenuri Ahmad al-Hafidh. Selaku muadzin yang mengumandangkan adzan I, HM. Rokhani dan adzan II, Hasanuddin. Hari bersejarah.
"Sandalnya dilepas, ya." Anak-anak saya komando untuk melepas sandal di batas suci.
"Lho, kalau mau masuk masjid harus lepas sandal? Di gereja boleh pakai sepatu." Chayenne protes. Tapi ia tahu, apa yang dikatakan ibunya, harus dipatuhi.
"Iya, kan kita masuk surga, harus bersih dari najis dan noda." Kata saya.
"Kalau sandalnya hilang bagaimana?" Shenoa takut sandal jepit pink hello kitty-nya hilang diambil orang. Sandal dipeluk erat sebelum ditaruh di lantai.
"Beli lagi." Tawa saya meledak. Mereka belum saya ceritakan tentang kehilangan sandal di masjid adalah hal biasa. Bahkan penukaran sandal lama ke baru bisa saja terjadi. Nggak tahu itu sengaja dilakukan orang karena mata nggak lihat atau karena iri sandal orang lebih bagus. Foto tentang tulisan pada sandal swallow baru warna biru "Tolong jangan ambil sandal ini, sudah hilang 5 kali" kembali melintas di kepala ini. Saya tambah ngakak.
Dengan semangat, bocah-bocah mungil yang mulai keringatan itu masuk masjid. Oh, tertulis di sebelah kiri pintu masjid, "Masuk Masjid: Harus berbusana muslim/aurat tertutup."
Kami memakai rok, meski lengannya pendek. Bolehkah? Bismillahhh ....
Masjid sepi. Kami pun memasuki petak demi petak lantai.
"Wowww, lampunya seperti di surga" Chayenne berteriak. Ia mengulangi kata bagus saya bahwa masjid itu layaknya "surga."
"Iya, lantainya luas dan mengkilap seperti di surga." Shenoa nggak mau kalah sama kakaknya.
"Pssst jangan keras-keras." Jari telunjuk saya membuat anak-anak menutup mulut. Mereka berlari kecil dan menghampiri barang-barang raksasa di dalamnya:
- Sebuah mushaf akbar ukuran 145 x 95 cm yang dibuat oleh Drs. Hayat dari Universitas Sains Al-Quran (UNSIQ) di Wonosobo, Jateng selama 2 tahun 3 bulan dan diterima MAJT pada tanggal 26 Oktober 2005
- Sebuah rekal sandaran baca Al-Quran ukuran raksasa dari kayu. Rekal yang biasa, digunakan untuk membaca Al Quran supaya tidak membungkuk.
Hmm. Anak-anak cepat bosan, kaki-kaki mini mengitari ruangan yang luas itu. Mimik-mimik terpasang begitu serius. Mata mereka melesat ke segala penjuru. Keingintahuan yang bikin haru nan lucu, menjadi saksi kemegahan MAJT, masjid kebanggaan masyarakat Semarang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya, bahkan memori bagi dunia internasional.
Menit demi menit berkejar-kejaran seperti mega di atas sana. Kami sudah keluar dari masjid dan berada di halaman paling depan, di mana bedug besar dari kulit lembu Australia ukuran panjang 310 cm diameter 220 cm bercokol di sana. Bedug replika buatan santri pondok pesantren Al Falah, Banyumas. Ok, anak-anak mau foto dulu sebelum berpisah, tapi nggak boleh mendekat karena pagar dikunci.
Sembari menunggu taksi datang, kami berbelanja di Souvenir Shop. Membeli oleh-oleh sebagai kenangan bahwa kami pernah ke Masjid Agung Jawa Tengah yang menjadi saksi keindahan akulturasi Islam, Jawa dan Romawi.
Selamat tinggal, surga. Kami akan kembali lagi menghampirimu jika badai corona telah berlalu. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H